Beijing (ANTARA) - Kedutaan Besar dan Konsulat Jenderal China di Myanmar mengaktifkan mekanisme tanggap darurat setelah mengalami serangan dengan alat peledak.
"Tidak ada korban jiwa, tetapi sebagian bangunan rusak. China sangat terkejut dan mengutuk keras serangan tersebut. Kementerian Luar Negeri China, Kedutaan Besar dan Konsulat Jenderal di Myanmar segera mengaktifkan mekanisme tanggap darurat dan segera menangani insiden tersebut," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, Senin (21/10).
Konsulat China di kota Mandalay, Myanmar, kota kedua terbesar di negara tersebut, diserang dengan alat peledak pada Jumat (18/10) sore, tapi tidak ada korban tewas atau cedera akibat ledakan tersebut.
"China telah mengajukan protes serius kepada Myanmar dan mendesak otoritas Myanmar untuk mengungkap akar permasalahan insiden tersebut, melakukan segala upaya untuk memburu para pelaku dan mengadili mereka sesuai dengan hukum," tambah Lin Jian.
Kementerian Luar Negeri China, kata Lin Jian juga meminta agar pemerintah Myanmar sepenuhnya memperkuat langkah-langkah keamanan untuk Kedutaan Besar, Konsulat Jenderal, lembaga, proyek, dan personel China di Myanmar dan mencegah terjadinya insiden serupa lagi.
"Pihak Myanmar menyatakan keterkejutan dan kesedihan atas insiden tersebut dan mengatakan bahwa mereka telah mengambil sejumlah langkah yang diperlukan dan akan memenuhi komitmen dan kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional dan tanggung jawab untuk melindungi keselamatan dan keamanan personel dan lembaga China di Myanmar," ungkap Lin Jian.
Konsulat Jenderal China di Mandalay, menurut Lin Jian, baru-baru ini juga sudah mengeluarkan peringatan keamanan.
"Berisi perintah bagi semua warga negara China, entitas bisnis dan lembaga di Myanmar untuk terus mencermati situasi keamanan setempat, memperkuat langkah-langkah keamanan dan mengambil setiap tindakan pencegahan untuk menjaga keselamatan mereka sendiri," tambah Lin Jian.
Junta militer dalam pernyataan mengatakan genteng di Konsulat China berlantai dua rusak akibat ledakan. Selain itu junta menuduh "teroris" bertanggung jawab atas insiden tersebut dan sedang menyelidikinya bersama pejabat konsulat.
Namun hingga saat ini belum ada klaim pihak yang bertanggung jawab atas insiden tersebut.
China diketahui merupakan mitra dagang terbesar Myanmar dan telah menginvestasikan miliaran dolar AS untuk sektor pertambangan, jaringan pipa minyak dan gas maupun infrastruktur lainnya di Myanmar.
Myanmar jatuh ke dalam kekacauan sosial, politik, dan ekonomi setelah pada Februari 2021, tentara Myanmar merebut kekuasaan melalui kudeta terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi, tentara junta melancarkan kekerasan terhadap rakyat yang menentang dan memunculkan kelompok oposisi bersenjata di berbagai wilayah.
Selain itu, sejak Oktober 2023, pertempuran antara pihak militer dan kelompok oposisi bersenjata meningkat dan menyebar ke sebagian besar Myanmar.
Junta dipaksa untuk bertahan akhir tahun lalu ketika organisasi etnis bersenjata mengalahkan mereka di timur laut Myanmar, merebut wilayah penting di sepanjang perbatasan dengan Tiongkok.
China pada Desember 2023 dan 10-11 Januari 2024 telah berupaya untuk menjadi mediator dan mempertemukan junta militer dan tiga kelompok etnis bersenjata yaitu Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA), Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA), dan Tentara Arakan (AA).
Namun pasca pertemuan damai kondisi keamanan di Myanmar bagian utara tetap buruk yang bahkan membuat China mengeluarkan peringatan agar warganya tidak mendatangi Myanmar utara.
Sejak kudeta Februari 2021, lebih dari 2.470 serangan udara telah dilancarkan dan mengakibatkan lebih dari 1.300 kematian.
Lebih dari 2,8 juta orang mengungsi, dan sedikitnya 18 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan, menurut badan-badan PBB.