Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno menyampaikan bahwa ada kerugian besar yang muncul akibat biaya penempatan kerja Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang sangat tinggi pada 2024.
“Kerugian itu muncul karena ada pungutan liar yang tidak diatur dalam undang-undang,” kata Hariyanto di sela-sela acara “Peluncuran Catatan Akhir Tahun SBMI 2024: Migrasi Paksa dan Beban Ekonomi: Mengurai Akar Perdagangan Orang terhadap Buruh Migran” di Jakarta, Rabu.
Hariyanto melanjutkan bahwa kerugian ekonomi itu muncul karena adanya biaya yang kemudian dipungut kepada buruh migran.
Dia juga mengatakan bahwa salah satu alasan WNI menjadi buruh migran adalah karena kerusakan lingkungan yang menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan sehingga terpaksa menjadi buruh migran.
“Dari kerusakan lingkungan, pencemaran laut, kemudian kerusakan (area) pertanian yang menyebabkan masyarakat Indonesia terpaksa untuk bekerja menjadi buruh migran,” katanya.
Hariyanto juga menyebutkan tiga sektor di mana PMI bekerja, yaitu sektor awak kapal perikanan, sektor pekerja rumah tangga dan sektor perkebunan.
Dia memberi contoh di sektor awak kapal perikanan; mengatakan bahwa banyak awak kapal WNI masih tereksploitasi di kapal-kapal berbendera asing serta mencatat bahwa mereka sudah mengalami 11 indikator kerja paksa (forced labor) berdasarkan standar Konvensi ILO 29.
Karena itulah, lanjut Hariyanto, pihaknya menyimpulkan bahwa tata kelola penempatan kerja PMI masih buruk, kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa masih belum maksimal dalam melaksanakan pelindungan PMI.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal SBMI Juwarih memberikan sejumlah rekomendasi dalam upaya peningkatan pelindungan PMI.
Dia mengatakan bahwa SBMI merekomendasikan untuk menjalankan dan mengevaluasi kewenangan pemerintah pusat, daerah hingga tingkat desa, berharap agar sosialisasi UU No. 18 tahun 2017 ke semua tingkat pemerintahan bisa dilaksanakan dengan baik.
Juwarih mengatakan sosialisasi UU No. 18 ke tingkat desa diperlukan karena banyak buruh migran yang berasal dari desa.
Selanjutnya, SBMI merekomendasikan agar pemerintah dan DPR RI segera merevisi UU No. 21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang yang berperspektif korban.
Juwarih mengatakan banyak hak restitusi untuk para korban yang tidak terlaksana karena penyidik, kejaksaan dan hakim tidak melakukan identifikasi aset para tersangka dan para pelaku, yang seharusnya dilakukan oleh penegak hukum sesuai UU No. 21 tahun 2007 pasal 32.
Rekomendasi lainnya adalah, lanjut Juwarih, adalah segera meratifikasi dan melaksanakan Konvensi ILO C-188 yang mengatur pekerjaan dalam penangkapan ikan.
SBMI juga merekomendasikan untuk segera meratifikasi dan melaksanakan Konvensi ILO C-189 yang menetapkan standar ketenagakerjaan minimal bagi pekerja rumah tangga (PRT)
Selanjutnya, SBMI juga merekomendasi untuk segera mengesahkan RUU PRT sebagai bentuk pengakuan PRT sebagai pekerja.
Rekomendasi yang terakhir, SBMI merekomendasi untuk memperkuat perwakilan RI dan memberikan perlindungan terhadap buruh migran RI yang bermasalah di luar negeri.