Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta lembaga jasa keuangan (LJK) untuk terus melakukan asesmen atas perkembangan terkini dan melakukan asesmen lanjutan, sehingga diharapkan mampu mengambil langkah antisipatif untuk memitigasi potensi peningkatan risiko ketidakpastian global.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan bahwa OJK sendiri juga mencermati dan melakukan asesmen berkala terhadap perkembangan kondisi geopolitik global yang berpotensi meningkatkan volatilitas pasar keuangan dan kinerja debitur sektor riil yang memiliki eksposur terhadap risiko terkait.
Dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RKDB) Juni 2025 di Jakarta, Selasa, Mahendra mengingatkan bahwa lembaga-lembaga internasional kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global untuk tahun 2025 dan 2026.
Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menilai bahwa ketidakpastian perkembangan geopolitik masih membayangi prospek pemulihan ekonomi ke depan.
“Ketidakpastian perdagangan global, utamanya antara AS dan Tiongkok ,sedikit menurun setelah tercapainya kerangka kesepakatan dagang antara kedua negara. Walaupun tentu saja kita melihat perkembangan pada hari ini, keputusan dari AS berkaitan dengan tingkat tarif kepada sejumlah negara-negara lain termasuk Indonesia,” kata Mahendra.
Selanjutnya tensi geopolitik kembali meningkat, terutama di kawasan Timur Tengah saat terjadinya perang Israel dan Iran disusul serangan Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklir utama di Iran.
Mahendra mencatat tekanan terhadap pasar keuangan dan harga minyak mereda setelah gencatan senjata Israel dan Iran diberlakukan.
Di tengah perkembangan itu, indikator ekonomi global menunjukkan tren moderasi dan sebagian besar di bawah ekspektasi prakiraan sebelumnya, sehingga mendorong kebijakan fiskal dan moneter global yang lebih akomodatif.
Di AS, meski outlook pertumbuhan ekonomi diturunkan, Bank Sentral AS atau The Fed masih belum menurunkan suku bunga dan mempertahankannya, di mana Fed Funds Rate (FFR) di kisaran 4,25 sampai 4,5 persen, menunggu kejelasan kebijakan tarif dan dampaknya terhadap inflasi.
Sementara itu, catat Mahendra, perekonomian domestik masih menunjukkan resiliensi di tengah tekanan global. Laju inflasi terus menurun dengan inflasi inti tercatat termoderasi di level 2,37 persen.
Dari sisi eksternal, neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2025 mencatatkan surplus cukup besar setelah sempat mengalami tekanan pada bulan sebelumnya.
Kinerja ekspor menunjukkan perbaikan, terutama didorong oleh pertumbuhan positif pada ekspor produk pertanian dan manufaktur dalam 3 bulan terakhir. Peningkatan ini pun berhasil mengimbangi penurunan yang terjadi pada ekspor produk pertambangan dan komoditas lainnya.
Diberitakan sebelumnya, Presiden AS Donald Trump baru-baru ini memutuskan tetap mengenakan tarif impor 32 persen kepada Indonesia, tidak berubah dari nilai "tarif resiprokal" yang diumumkan sebelumnya pada April lalu, meski proses negosiasi dengan pihak Indonesia terus berlangsung intensif.
“Mulai 1 Agustus 2025, kami akan mengenakan tarif kepada Indonesia hanya sebesar 32 persen untuk semua produk Indonesia yang dikirimkan ke Amerika Serikat, terpisah dari tarif sektoral lain,” kata Trump dalam surat berkop Gedung Putih tertanggal 7 Juli yang ditujukan kepada Presiden RI Prabowo Subianto.
Dalam surat yang ia unggah utuh di media sosialnya tersebut, dipantau di Jakarta, Selasa, Trump merasa bahwa AS harus bertindak mengatasi defisit perdagangan yang mereka alami setelah bertahun-tahun menjalin kerja sama dagang dengan Indonesia.
Apabila Indonesia dipandang melakukan tindak balas dengan menaikkan tarif, Trump mengancam akan membalas dengan menambah nilai tarif impor sesuai jumlah itu “ditambah tarif 32 persen yang kami tetapkan”.
Namun demikian, Trump berjanji bahwa Indonesia tidak akan dikenakan tarif apabila “memutuskan membangun atau memproduksi produknya di Amerika Serikat”, sembari menjamin bahwa permohonannya akan diproses dan disetujui dalam hitungan pekan.
Ia pun menyatakan bahwa angka tarif tersebut masih bisa berubah apabila Indonesia sepakat melakukan penyesuaian terhadap kebijakan dagang dan membuat ekosistem pasar nasional yang lebih terbuka kepada AS.
