"Gemuruh semakin menggelegar. Derap perubahan menghentak-hentak. Sumbat-sumbat telah terpental. Pekik perlawanan tak terbendung.Itulah bertanda era baru akan membentang. Cuma dalam hutingan bulan.."
Demikian Faisal Basri dalam coretan puisinya berjudul 'Indonesia Dalam Penantian Keniscayaan Perubahan' pada pendahuluan buku terbarunya tentang perekonomian Indonesia.
Faisal dalam catatannya menuliskan puisi itu di Kalisari, Jakarta, pada waktu dini hari tepat 1 Januari 1998. Ketika itu, gemuruh benar-benar kian menggelegar, negara ini dilanda krisis perekonomian yang kian dahsyat.
Derap perubahan kala itu juga kian menghentak dengan warna-warni negatif, mulai dari kerusuhan hingga hingar bingar kegalauan negeri. Sumbat sumbat pun kian terpental, hingga membawa bangsa ini ke era demokrasi, selayang 'democrazy'.
Tahun 1998, benar kutipan penggalan puisi itu, di mana pekik perlawanan tak terbendung. Era baru untuk kebebasan pun kian membentang.
Siapa yang bisa melupakan tahun 1998. Banyak yang menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa ini ketika itu hingga kini. "Borok-borok tak bisa lagi ditutup-tutupi. Korupsi mendarah daging harus dienyahkan.Nepotisme telah akut nian. Ketimpangan tak tertoleransikan lagi..."
Apakah benar, "Era baru harus dibentangkan, atau kejumudan harus disingkirkan dan status quo tak boleh dipertahankan?
Harusnya "kemunafikan cukup sudah..."
Elok sebanga puisi bercerita, namun keadaan di tahun 1998 memang berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian bangsa ini.
"Mungkin dia (krisis) akan selalu diingat, sebagaimana kita' selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise, demikian ujar Faisal Basri dalam seminar nasionalnya di Pekanbaru, Riau, Sabtu (15/12).
Menurut dia, kejadian masa lampau, di mana hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi bagi bangsa ini.
Prestasi ekonomi yang dicapai dalam dua dekade kala itu (1998), tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.
Selama periode sembilan bulan pertama di tahun 1998, kata Faisal, tak pelak lagi merupakan periode paling hiruk pikuk dalam perekonomian.
Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997, berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan secara nyata oleh masyarakat, khususnya dunia usaha.
Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah.
Bahkan situasi seperti lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya hingga mengarah tiada arah dan tujuan. Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara, ketika itu, 1997-1998.
Seperti efek bola salju, kata Faisal, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand pada 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.
Akhirnya, dia (krisis) juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa.
Sektor apa di negara ini yang tidak goyah ketika itu..! Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah hingga akhirnya dia pun lengser.
Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi baht, yang menjadi pemicu semua itu. Tapi kerumunan "hawa gerah" kian menggelora, ketika itu.
Namun Faisal Basri dalam puisinya mencoba bernasihat, "Hari esok kita tatap... Kemarin biarlah berlalu... Bentangkan agenda masa depan, tutup nestapa silam... Kobarkan api kejuangan, demi pendam keapatisan."
"Hari esok, hari kemarin, adalah lakon-lakon kehidupan... Surut, tenggelam, bangkit, dan memancar... Tiada lain untuk membuktikan, bahwa angkara murka akan datang... Memporak-porandakan kebatilan... Semoga kita menjadi pemenang, karena kebenaran pasti datang..."
Mendekatkan teori dengan kenyataan, adalah upaya yang menurut pakar ekonomi nasional ini harus diupayakan. "Jangan manis-manis madu, tak semanis ketika sendu."
"Optimisme kemajuan perekonomian bangsa harus menjadi tiang utama. Bangkit dalam segala keterpurukan dan terus maju...," kata Faisal dalam kuliah singkatnya di tengah hingar bingar ribuan pengunjung di mana kala itu, "Kota Bertuah", Pekanbaru, sekilat saja dilanda hujan rintik-rintik.
Optimisme Ekonomi
Faisal Basri juga meyakini ekonomi Indonesia bakal melejit dengan positif mengalahkan negara-negara di Asia Tenggara dan Asia. "Dengan syarat, harus ada landasan konsistensi teori yang matang dan kokoh," kata Rektor Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas Jakarta tahun 1999-2003 ini.
Khayalan atau tidak, namun bukan sulap, Bank Indonesia baru-baru ini merilis bahwa pertumbuhan ekonomi dalam negeri tahun ini mencapai 6,3 persen dan akan menjadi pertumbuhan tertinggi kedua di dunia setelah China yang mencapai 7,8 persen.
"Dibanding negara-negara lain di dunia, pertumbuhan kita nomor dua setelah China," kata Direktur Eksekutif Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Perry Warjiyo di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, Bank Indonesia meyakini pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun ini masih cukup baik dan mencapai 6,3 persen, meski lebih rendah dibanding perkiraan sebelumnya 6,4 persen.
Sebelumnya, BI memperkirakan perekonomian Indonesia akan tumbuh antara 6,1 hingga 6,5 persen dengan kemungkinan utama di level 6,3 persen. Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi diperkirakan antara 6,3 hingga 6,7 persen dengan kemungkinan di 6,5 persen.
Sementara pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat pada tahun ini dari 3,2 persen menjadi 3,1 persen, sedangkan di 2013 turun dari 3,5 persen menjadi 3,4 persen.
Pelambatan ekonomi Indonesia dari 6,4 persen menjadi 6,3 persen, menurut Perry lebih karena dampak krisis ekonomi dunia yang mulai mempengaruhi sisi ekspor perekonomian Indonesia.
Masih tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak ditopang kuatnya konsumsi rumah tangga yang diperkirakan tumbuh 5,1 persen pada kwartal III 2012, sementara investasi tumbuh 10,9 persen.
Pertumbuhan investasi ini turun dibanding perkiraan semula yakni 12 persen, karena dampak dari turunnya sektor investasi yang berorientasi ekspor.
Namun Faisal Basri dalam bukunya menuliskan bahwa masa depan negara ini masih cukup panjang dan kian berjenjang. Krisis ekonomi menurut dia disebabkan "lebih besarnya pasak dari pada tiang" yang menyimpulkan bahwa gejolak kurs mengungkap persoalan itu dan muncuatnya pokok-pokok permasalahan.
Solusi konkret untuk lebih mengembangkan perekonomian negara ini menurut Faisal juga kepekaan pemerintah dalam memahami sinyal global perekonomian. Mulai dari langkah keterlibatan IMF, rezim sentralistik guna memperuncing upaya penyelesaian agar krisis moneter jangan lagi menjadi krisis multidimensional di era kebebasan (bukan kebablasan).
Dalam penantian; "kemilau perubahan telah menyeruak... Namun hampa terasa kala diraba... Cahaya menari-nari, namun kerap surut di balik panggang."
"Para pelakon tersenyum dengan tatapan nanar, di balik kosmetik yang begitu tebal... Apakah mereka melakoni kehendak sang sutradara yang mengacu pada skenario apik...?"
"Entahlah," demikian Faisal Basri dalam bait puisinya berjudul "Dalam Penantian". Ia berkisah tentang "penonton hiruk pikuk dengan tepuk tangan membahana. Diapun bercerita tentang, segerombolan orang itu ternyata berwajah kecut, namun ada pula yang mencaci maki, lalu berakhirlah babak perdana.
Kembali dalam puisi "hingar bingar" berjudul "Dalam Penantian" ala Faisal Basri, bercerita bahwa, "tak ada kejelasan berapa babak lagi tersisa." Namun, "penonton mulai penat, diserang kantuk pula, menyaksikan adegan demi adegan yang semakin membosankan."
Akankah ada hari depan yang menyapa dengan keramahan. Atau 'ia' datang dengan kian banyak tanda tanya? Barangkali ketidakpastian memang harus dihadapi dengan kesatuan tekad dan kerja keras.
Hidup bangsaku..., demokrasi bukanlah democrazy...
(KR-FZR)
Ekonomi Indonesia Dalam Puisi Ekonom Faisal Basri
Minggu, 16 Desember 2012 15:38 WIB