Pontianak (Antara Kalbar) - Pengamat masalah perbankan dari Universitas Tanjungpura, Dr Dian Patria SE MA, mengatakan pemberian kredit kepada perusahaan perkebunan dan pertambangan, ke depannya pihak perbankan harus memperhatikan konsep "green economy" dan "green banking".
"Bagaimana pembangunan ekonomi harus memperhatikan faktor lingkungan. Begitu pun dengan sistem perbankan. Ketika bank akan mengucurkan kredit, risiko lingkungan terhadap perusahaan atau kreditur harus diperhitungkan," kata Dian Patria di Pontianak, Kamis.
Ia menjadi pembicara seminar nasional bertema "Pola Pembiayaan dan Investasi Sektor Industri Berbasis Lahan dan Hutan dalam Kaitannya dengan Tata Kelola Hutan dan Lahan di Indonesia" kerja sama Link-AR Kalimantan dan ICW.
Ia mencontohkan, misalnya saja jika kredit itu dikucurkan bagi perusahaan yang tak memiliki prinsip-prinsip yang baik dari segi tata kelola lingkungan yang baik, pihak perbankan bisa dikenakan sanksi. Hal itu ke depannya bakal menjadi kebutuhan yang harus dilaksanakan.
"Kalau kredit dengan skema itu tidak jalan, dunia tidak akan mendampingi," kata Dian Patria yang juga dosen Fakultas Ekonomi Untan itu.
Dia menambahkan, lembaga dunia, seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga sudah ada lembaga yang menangani itu. Namanya United Nation Environmental Program (UNEP).
Menurut dia, dalam prinsip-prinsip bank yang bersifat "green banking", pihak bank harus mendorong praktik peduli dengan lingkungan. Caranya, membuat sistem berbasis online, karena akan menghilangkan penggunaan kertas yang berasal dari pohon. Kemudian, mendorong bank membuat produk "bank hijau", atau peduli dengan lingkungan.
Begitu pun dengan internal di bank, membuat perbankan yang bersifat peduli dengan lingkungan atau "green bank".
Misalnya, ketika membuat produk perbankan, harus memberikan syarat bahwa pihak kreditur peduli dengan asas-asas tata kelola lingkungan yang baik. Misalnya, kreditur memperhatikan kualitas lingkungan, tata kelola air, dan lainnya.
Dian Patria juga menyatakan, sebelum perkebunan sawit masuk ke Kalimantan Barat, warga mendapatkan berbagai kebutuhan hidup gratis dari alam tetapi ketika kebun sawit masuk, warga tidak bisa mengompensasi apa yang selama ini tidak bisa diambil dari alam.
Sementara pembicara dari Indonesia Curruption Watch (ICW), Mouna Wasef, mengatakan, perkebunan merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia, karena kontribusinya di penyerapan tenaga kerja, ekspor, namun juga dalam pembukaan hutan sebagai lahan baru perkebunan.
Dari data riset mengenai produksi perkebunan besar menurut jenis tanaman, terlihat produksi minyak sawit (CPO) begitu jauh mendominasi. Setelah itu peranan disusul oleh biji sawit dan gula tebu. Terlihat jelas, peranan industri kelapa sawit, baik minyak maupun biji sawit begitu penting dalam konteks sektor perkebunan.
"Riset terhadap perkebunan dan perusahaan tambang batu bara dilakukan karena dua hal tersebut yang dianggap paling punya potensi terhadap kerusakan air," katanya.
Ia menambahkan, pembangunan ekonomi di Indonesia, sekitar 77 persen masih menggunakan sistem perbankan sebagai penopang pembiayaan. Kriteria utama sistem perbankan dalam mengucurkan kredit masih bersifat prospek industri.
Selain itu, selama ini pembangunan ekonomi di Indonesia masih berbasis pembangunan dari sumber daya alam. Pembangunan kebun kelapa sawit dan batu bara masih menggunakan pembiayaan sistem perbankan. Dari sisi perbankan sendiri kriteria utama pemberian kredit masih mendasarkan diri pada prospek industri.
Perbankan memiliki metodelogi untuk mendeteksi perkembangan sektoral, berdasarkan pada prospek industrinya. Jika pihak bank merasa prospek suatu industri masih tinggi, diukur dari profitabilitas, "return on investment" (ROI), sementara tingkat pengembalian pinjamannya masih bagus, maka bank akan menempatkan sektor tersebut sebagai target sektor industri yang akan diberikan kredit.
Selain dari perbankan, sektor sawit dan batu bara juga memperoleh pendanaan dari pasar modal. "Pasar modal kita termasuk yang dinamis dan sangat dipengaruhi oleh sektor komoditas," kata dia lagi. Artinya, naik turunnya indeks harga saham gabungan (IHSG) sangat dipengaruhi oleh harga komoditas dan kinerja dari perusahaan (emiten) di sektor perkebunan dan pertambangan.
Emiten di dua sektor tersebut menjadi penggerak bursa. Sementara saat ini Malaysia masih menguasai pasar sawit dunia. Malaysia membangun sistem data dan informasi pasar dan menciptakan harga yang dilakukan.
(N005/T011)
Dorong Kredit Perbankan Yang Peduli Lingkungan
Kamis, 27 Juni 2013 22:19 WIB