Jakarta (Antara Kalbar) - Kalangan pakar menyatakan, pemerintah sebaiknya mulai menerapkan sanksi denda dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) atau sanksi dalam bentuk valuasi ekonomi lainnya yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut pakar hukum lingkungan Daud Silalahi di Jakarta, Rabu, denda keuangan tersebut kemudian digunakan untuk biaya pemulihan lingkungan yang rusak karena kebakaran hutan.
"Khusus untuk pelaku-pelaku yang terbukti secara sengaja melakukan karhutla, sanksi denda tersebut harus juga ditambah dengan sanksi pidana," katanya.
Sedangkan pemilik lahan yang lahannya terbakar dapat dimintakan pertanggungjawaban dengan cara memulihkan secepat mungkin lahan yang terbakar.
Pemulihan ini, lanjutnya, berarti ada beban keuangan yang harus dikeluarkan oleh pemilik lahan agar lahan yang rusak dapat segera pulih kembali.
"Kebijakan tersebut lebih efektif dan strategis karena mengandung unsur pencegahan, penanggulangan pencemaran serta pemulihan fungsi lingkungan. Selain itu, sanksi tersebut lebih memberikan efek jera karena biaya yang dikeluarkan korporasi untuk merehabilitasi lingkungan tentunya tidak kecil," katanya.
Menurut Daud Silalahi, dalam penanganan kasus karhutla, sanksi pidana tidak efektif membuat efek jera serta tidak menyelesaikan pemulihan atas pencemaran lingkungan yang terjadi.
Sanksi pidana, katanya, sebaiknya diberlakukan jika korporasi tertangkap tangan membakar atau lingkungan yang dirusak tidak dapat dipulihkan lagi.
Daud juga menuturkan, dari beberapa pengalamannya sebagai saksi ahli, penyelesaian pidana kasus karhutla di pengadilan selalu memakan waktu panjang dan sering tidak tuntas.
"Kalaupun ada putusan, hasil tidak memenuhi rasa keadilan karena lebih banyak ditentukan oleh kepiawaian para pengacara yang belum tentu memahami persoalan lingkungan," katanya.
Sebenarnya, kata Daud Silalahi, aturan hukum yang ada terkait lingkungan cukup baik, hanya saja, pemerintah perlu menambahkan sejumlah kebijakan yang lebih terukur dan akuntabel untuk meminimalisir dampak kerusakan lingkungan.
Menurut dia, Indonesia harus belajar dari negara-negara lain yang telah memiliki aturan hukum yang baik dalam penanganan karhutla. Umumnya, mereka lebih menekankan sanksi administrasi dan denda atas pemulihan lingkungan dibandingkan pidana.
Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup Ryad Chairil menilai, proses hukum dalam kasus kebakaran hutan perlu menerapkan asas Strict Liability (SL) atau kewajiban untuk segera merehabilitasi kerusakan lingkungannya.
"Prosesnya, relatif lebih efisien, cepat dan terukur, dibandingkan dengan proses pidana yang membutuhkan penetapan pengadilan yang panjang serta tidak menjamin pengurangan beban pencemaran lingkungan," katanya.
Selama ini proses penyelesaian kasus pidana pencemaran lingkungan memerlukan waktu setidaknya lima tahun, namun faktanya banyak kasus pidana lingkungan yang tidak dapat segera dituntaskan karena belum bisa memenuhi aspek pemberkasan di Kejaksaan (P19). Pemerintah pun seringkali kalah dalam proses pengadilannya.
Dalam kurun waktu proses pidananya, Perusahaan harus berhenti operasi dan wilayah operasi nya di "police-line" kan, akibatnya Perusahaan dapat mengalami kebangkrutan karena tuntutan pemailitan dari para krediturnya meskipun secara hukum Perusahaan tersebut belum terbukti bersalah sebagai perusak lingkungan.
Daerah yang tercemar tidak dapat segera dipulihkan karena harus menunggu penyelesaian proses pidana nya. Risiko terjadi PHK besar-besaran akan meningkat dan menimbulkan gejolak dari sisi perekonomian.
Hal inilah yang menyebabkan sanksi pidana kurang sejalan dengan program pembangunan berkelanjutan global (global sustainable development program) yang meminta proses penegakan hukum lingkungan untuk turut membantu pertumbuhan ekonomi nasional tiap negara dan mengentaskan kemiskinan global.
Ryad memandang, asas SL sudah sesuai dengan semangat UU lingkungan untuk mengurangi beban pencemaran lingkungan dan bukan semata sebagai alat untuk mempidanakan orang.
Asas SL ini juga sejalan dengan kaidah hukum internasional. Apalagi Indonesia telah meratifikasi Agreement on Transboundary Haze Pollution .
"Indonesia dapat menerapkan konsep SL melalui kerjasama ASEAN dalam penanggulangan pencemaran dan perusakan lingkungan" lanjut Ryad.
(S025/F.C. Kuen)
Pakar: Denda Lebih Ampuh Dalam Kasus Karhutla
Rabu, 2 Juli 2014 22:34 WIB