Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Dr Hasril Siregar menyatakan lahan yang habis terbakar secara teknis tidak bisa langsung ditanami bibit kelapa sawit.
"Sehingga tidak benar kalau ada yang menanam sawit di lahan bekas terbakar atau yang dibakar, seperti yang ramai diberitakan di kawasan konservasi orangutan (arboretum) Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah," kata Hasril dalam keterangan tertulis yang diterima di Pontianak, Sabtu.
Penanaman bibit kelapa sawit pada lahan yang tidak terbakar saja harus memenuhi syarat cukup air, minimal telah turun hujan 50 mm/100 hari atau pada bulan basah dengan curah hujan 100-200 mm/bulan, kata Hasril Siregar
Syarat itu pun belum cukup, sebab penanaman bibit sawit di lahan yang cukup hujan juga harus mengikuti teknis pemancangan, pelubangan terbuka sekitar satu minggu dan diberi pupuk dasar jenis fosfat.
Terkait pembakaran lahan yang kemudian ditanami sawit, Kepala Rumah Tangga Kelurahan Tumbang Tahai, Kecamatan Bukit Batu, Palangkaraya, Kalteng, Rudi ketika dihubungi belum lama ini mengatakan lahan yang ditanami sawit oleh masyarakat berada di Jalan Tjilik Riwut KM 26 dan sudah dibakar lima bulan lalu.
"Kami sudah membakar lahan di KM 26 ini lima bulan yang lalu. Sedangkan lahan yang dibakar baru-baru ini adalah yang di KM 27. Jadi dalam hal ini lahan yang dibakar dengan lahan yang ditanami adalah lahan yang berbeda," kata dia.
Rudi menambahkan, tidak mungkin petani menanam bibit sawit di lahan yang baru saja dibakar. Apabila itu dilakukan, kata pria asli suku Dayak ini, maka bibit sawit akan mati. Artinya, lahan yang ditanam bibit kelapa sawit bukanlah lahan yang dibakar dua minggu yang lalu.
Rudi yang sudah turun temurun tinggal di pinggiran Sungai Tahai ini mengakui kalau lahan di KM 26 dan 27 tersebut sengaja dibakar oleh masyarakat. Menurut Rudi, rencana luas areal yang akan ditanami untuk kelapa sawit mencapai 38 hektare. Dari angka tersebut, 24 ha milik kelompok masyarakat Kelurahan Tumbang Tahai.
Ia menegaskan, bahwa lahan yang dibakarnya bukanlah milik perusahaan. Lahan yang dibakar tersebut adalah bagian dari kearifan lokal masyarakat Dayak yang sudah dilakukan turun temurun. Bahkan hal tersebut juga tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah.
Dalam Pergub tersebut diterangkan bahwa kewenangan izin pembakaran tersebut berdasarkan luas areal yang akan dibakar. Di pergub tersebut dijabarkan bahwa untuk luas lahan sampai dengan satu hektare harus izin terlebih dahulu ke ketua RT. Kemudian untuk luas lahan di atas 1-2 ha izin ke lurah atau kepala desa, dan untuk di atas 2-5 ha wajib izin ke camat.
Dalam pergub tersebut juga dijelaskan bahwa pemberian izin pembakaran secara kumulatif pada wilayah dan hari yang sama. Adapun untuk tingkat kecamatan maksimal 100 hektare. Sedangkan untuk tingkat kelurahan atau desa maksimal 25 hektare. Izin tersebut diberikan untuk masyarakat, bukan perusahaan.
"Kami melakukan ini sudah sesuai prosedur dan sudah memperhitungkannya," tutur Rudi.
Hal senada juga dikatakan Helmuth Gasan, tokoh masyarakat Kecamatan Bukit Batu, Palangkaraya. Ia menegaskan bahwa informasi lahan yang terbakar dua minggu lalu itu berada di KM 26 tidak benar.
"Yang terbakar dua minggu yang lalu adalah lahan yang di KM 27," kata dia.
Dia menegaskan lahan di KM 26 saat ini sudah banyak tumbuh kelakai, tumbuhan paku khas Kalimantan Tengah. "Jadi, tidak mungkin dua minggu terbakar, tanaman tersebut (kelakai) tumbuh," ujar Helmuth.
Menurutnya, pembakaran lahan tersebut dilakukan karena orang Dayak ingin menanam kelapa sawit, tapi tidak mempunyai modal yang cukup untuk melakukan pembukaan lahan tanpa melakukan pembakaran, sehingga dilakukan pembakaran secara bertahap.
Sebelumnya, kata Helmuth, masyarakat membudidayakan tanaman padi gogo dan karet.
"Belakangan tanaman-tanaman tersebut tidak menguntungkan lagi karena harganya jatuh. Maka itu, petani berinisiatif menanam sawit," jelas Helmuth.
(A057/S024)