"Masalah LGBT tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan HAM dan demokrasi, karena pada hakikatnya LGBT merupakan kelainan seksual dalam peri kehidupan seseorang," kata KH Hasyim kepada pers di Jakarta, Selasa, terkait maraknya polemik soal LGBT belakangan ini.
Menurut tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu, pendekatan yang benar untuk menyelesaikan masalah LGBT adalah melalui prevensi dan rehabilitasi, sehingga seseorang bisa kembali menjadi normal secara seksual.
Prevensi itu sendiri dalam istilah psikologi artinya pencegahan, yakni mencegah agar tidak terjadi gangguan psikologi, sebuah upaya agar individu terhindar dari gangguan perilaku atau patologis pada aspek psikisnya.
Prevensi dapat dilakukan sejak masa kanak-kanak sebagai upaya tangkal dini apabila terdapat gejala kelainan seksual dengan cara psikoterapi, penyadaran, dan latihan-latihan agar kelainan seks itu tidak menjadi berkembang.
Ada pun proses rehabilitasi diperlukan untuk mereka yang sudah terlanjur menjadi bagian dari kelainan tersebut. Sesulit apa pun proses rehabilitasi, upaya itu tetap harus dilakukan agar jumlah LGBT tidak membesar.
"Dalam kaitan ini, perlu diperhatikan bahwa masyarakat umum tidak boleh menjauhi mereka secara diskriminatif, karena sesungguhnya mereka sendiri juga tidak menyukai kelainan tersebut," kata KH Hasyim.
Ia juga menjelaskan, legalisasi yang dilakukan oleh negara-negara Barat terhadap LGBT tidak berangkat dari norma etika dan agama, tetapi semata-mata pendekatan sekularis ateistik.
"Apabila di Indonesia secara sengaja dan terencana ada kampanye pengembangan LGBT, maka hal tersebut merupakan bahaya terhadap budaya dan tata sosial agamis di Tanah Air," tegasnya.