Frankfurt (Antara Kalbar) - Tiongkok membantu mendorong rencana investasi energi hijau mencapai rekor tertinggi pada 2015, mengimbangi penurunan tajam di Jerman menurut laporan Frankfurt School of Finance, yang mendapat dukungan dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Laporan itu menyebutkan bahwa pembangkit bertenaga surya dan angin, khususnya di negara-negara berkembang, menggerakkan pengeluaran yang lebih tinggi dan tahun lalu untuk pertama kalinya energi terbarukan meliputi 50 persen rencana kelistrikan baru.
"Istilah 'produk niche' tidak lagi berlaku untuk energi terbarukan," kata Ulf Moslener, profesor pendanaan energi berkelanjutan di Frankfurt School of Finance yang merupakan salah satu penulis laporan itu.
"Investasi menjadi lebih murah, karena menurunnya biaya peralatan, yang juga akan memampukan pertumbuhan lebih lanjut, khususnya dalam momentum baru dari tujuan pertemuan iklim Paris," katanya seperti dikutip kantor berita Reuters.
Komitmen rencana investasi energi terbarukan tahun lalu total mencapai 286 miliar dolar AS, naik lima persen dari 273 miliar dolar AS tahun 2014 menurut studi tahunan yang disiapkan Frankfurt School-United Nations Environment Programme (UNEP) Collaborating Centre dan Bloomberg New Energy Finance.
Komitmen rencana investasi untuk tenaga surya meliputi 148 miliar dolar AS, naik 12 persem dari tahun sebelumnya dipicu ledakan penggunaan tenaga surya di Jepang.
Sementara untuk tenaga angin tercatat 107 miliar dolar AS atau naik sembilan persen dengan dukungan proyek-proyek lepas pantai.
Namun komitmen investasi biomassa tercatat hanya lima miliar dolar AS, turun 46 persen.
Studi itu mengecualikan proyek-proyek pembangkit hidrologis besar karena kepedulian terhadap lingkungan.
Tiongkok menyumbang 103 miliar dolar AS dari total komitmen rencana investasi energi terbarukan disusul Eropa dengan 49 miliar dolar AS, Amerika Serikat dengan 44,1 miliar dolar AS dan Asia, kecuali Tiongkok dan India, dengan 48 miliar dolar AS.
Tiongkok memperkirakan emisi gas rumah kacanya mencapai puncak "sekitar 2030" sebagai bagian dari komitmennya terhadap kesepakatan global untuk mengatasi pemanasan global yang ditandatangani di Paris tahun lalu.
Tiongkok, India dan Brasil dan negara-negara yang sedang tumbuh lainnya bersama-sama melampaui negara maju dengan sumbangan komitmen investasi energi terbarukan sampai 156 miliar dolar AS atau 55 persen dari total komitmen investasi.
Rencana pengeluaran di Jerman, pemimpin proyek-proyek, teknologi dan risey energi terbarukan, turun 46 persen menjadi 8,5 miliar dolar AS dalam penurunan tertajam mereka dalam 12 tahun.
Faktor di balik penurunan itu meliputi ongkos yang lebih rendah, keterbatasan ketersediaan lahan dan perubahan regulasi yang ditujukan untuk memasukkan energi terbarukan ke remunerasi berbasis pasar dan jauh dari tarif tetap.