Denpasar (Antaranews Kalbar) - Munculnya tagar #2019GantiPresiden yang bertubi-tubi sejak April 2018 hingga mengiringi pendaftaran calon presiden kini menyesaki media sosial seakan-akan memosisikan media sosial sebagai "pengendali" situasi perpolitikan di Tanah Air.
Lantas, media jurnalistik (media massa) kemana? Pertanyaan berikutnya, kemana pemihakan media sosial dan media jurnalistik? Agaknya, jawaban "fair" adalah kembali kepada "ahlinya" (KPU/Bawaslu) dan media massa juga perlu mendudukkan persoalan sebenarnya (mencerahkan).
Dalam fatwanya, Bawaslu/KPU menyatakan bahwa aksi tagar #2019GantiPresiden merupakan bagian dari demokrasi yang dibenarkan oleh UU Kebebasan Menyampaikan Pendapat, namun pada sejumlah daerah juga ada yang dilarang polisi dengan merujuk pada UU itu dan UU Polri (diskresi).
Artinya, kebebasan berpendapat itu diatur UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat Dimuka Umum. Namun, kebebasan berpendapat dalam UU 9/1998 itu bukan bebas tanpa batas, karena pasal 6 dan pasal 15 UU Kebebasan Berpendapat itu juga mencantumkan batasan.
Batasan dalam kebebasan berpendapat pada pasal 6 UU itu adalah menimbulkan permusuhan dan kebencian. Batasan itu pun "dikunci" dengan pasal 15 pada UU yang sama yakni apabila pelaksanaan penyampaian pendapat itu melangggar pasal 6, maka dapat dibubarkan.
Untuk membubarkan kegiatan penyampaian pendapat dimuka umum, Polri juga dibekali dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Dalam UU Polri itu, aparat kepolisian mempunyai hak diskresi untuk mempertimbangkan (batasan) kamtibmas dalam kegiatan penyampaian pendapat.
Dengan demikian, aksi #2019GantiPresiden dapat dibenarkan sebagai penyampaian pendapat dimuka umum apabila tidak menimbulkan permusuhan dan kebencian serta tidak mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Ya, berpendapat itu bebas, tapi bukan tanpa batas. Apabila ada aksi kontra terhadap aksi #2019GantiPresiden atau ada keberatan masyarakat yang menganggap aksi itu sebagai makar atau gerakan ingin mengganti sistem, maka aparat kepolisian dapat merujuk UU 2/2002 tentang Polri untuk mencegah gangguan kamtibmas (melarang, membatasi, membubarkan) atau benturan/kericuhan.
Dalam konteks itulah, media jurnalistik (media massa) dan media sosial dihadapkan pada dilema keberpihakan, namun media sosial sudah "terbelah" dalam keberpihakan antara pihak pro dan pihak kontra dengan aksi itu, sedangkan media jurnalistik belum jelas bersikap.
Sikap media sosial yang "terbelah" dalam sikap pro dan kontra itu menimbulkan kegaduhan yang kontraproduktif terhadap aksi #2019GantiPresiden, karena KPU sudah menerima pendaftaran dua capres-cawapres yakni Prabowo-Sandiaga dan Jokowi-Ma'ruf. Penetapannya pada 20 September.
"Mengapa masih ada deklarasi #2019GantiPresiden ? Bukankah sudah jelas yang bertarung adalah Jokowi melawan Prabowo, kenapa tidak #2019PrabowoSandiaga saja ? Atau, ada agenda lain, seperti ganti sistem presiden menjadi raja, khalifah ? Kalau itu ya jelas makar," ujar pakar sejarah NU dan pengasuh pesantren di Sleman, Yogyakarta, KH Ahmad Muwafiq (Gus Muwafiq).
Nah, dalam keterbelahan media sosial itulah, agaknya media jurnalistik dapat menyatakan sikap yang mencerahkan masyarakat. Media jurnalistik dapat merujuk kepada KPU/Bawaslu terkait UU Pemilu dan UU Kebebasan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum, sekaligus media jurnalistik juga merujuk kepada sikap Polri terkait UU Polri dan UU Kebebasan Menyampaikan Pendapat.
Artinya, media jurnalistik tidak harus "terbelah" seperti halnya media sosial, namun dapat mendudukkan persoalannya dari sisi KPU/Bawaslu dan Polri, sehingga masyarakat dapat menjadikan media jurnalistik sebagai alternatif dalam menentukan sikap ditengah kegaduhan (pro-kontra) yang ada.
Dalam acara bertajuk "Editor's Forum, Media Bermartabat untuk Pemilu Berkualitas" di Sanur, Denpasar, Bali (29/8/2018), Kepala Pusat Litbang Aplikasi Informatika dan Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo, Wiryanta, mengharapkan insan media di Pulau Dewata menjalankan peran yang berintegritas untuk Pemilu 2019 berkualitas.
"Presiden sudah sering menggarisbawahi bahwa dalam proses pemilu untuk mencari pemimpin, jangan sampai mengakibatkan masyarakat kita terpecah belah, dan pers memiliki tugas yang penting dan strategis, apalagi medsos juga sangat berperan besar karena setiap orang yang memegang handphone dan terkoneksi internet dapat menuliskan informasi dan men-sharing informasi, meskipun bukan pekerja media," ujarnya.
Jurnalisme Bermartabat
Nilai strategis media jurnalistik itu juga diakui mantan Ketua Dewan Pers, Agus Sudibyo, saat berbicara dalam acara yang diadakan Kementerian Kominfo dengan melibatkan Dewan Pers dan PWI Bali itu.
"Meskipun masyarakat yang mengakses dan memanfaatkan medsos sebagai rujukan informasi cukup marak, tetapi berdasarkan hasil penelitian, sekitar 71 persen masyarakat tetap masih percaya pada media jurnalistik sebagai rujukan informasi," ucapnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan media jurnalistik menjaga kredibilitas media dalam bentuk kepercayaan masyarakat itu dengan memberikan yang lebih baik atau biasa disebut jurnalisme yang bermartabat. "Kalau media dengan karya jurnalistiknya memberikan informasi yanng sama dengan media sosial, apa artinya," katanya.
Menurut dia, semestinya wartawan atau jurnalis dapat memberikan jurnalisme yang bermartabat, yang lebih baik. Hal ini agar profesi wartawan bisa tetap dipercaya masyarakat, apalagi menjelang Pilpres 2019.
"Media saya harapkan jangan berkubu-kubu dan dapat menjaga independensi, karena itu saya senang Kementerian Kominfo menggagas gerakan santun bermedia dengan menggandeng media massa di berbagai daerah menjelang Pilpres 2019, seperti melalui forum seperti ini," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, sesepuh pers yang juga mantan Ketua Dewan Pers Prof Bagir Manan mempertanyakan masih sanggupkah wartawan untuk menjaga independensi dan menjaga kepercayaan publik, karena sejatinya mereka memang bekerja untuk kepentingan publik.
"Pers seharusnya dapat menjadi mata dan telinga, sehingga tahapan dan proses pemilu dapat betul-betul memenuhi standar pemilu yang baik. Pers harus memotivasi masyarakat untuk datang ke TPS, bukan semata-mata untuk kepentingan media dengan mengeruk keuntungan sendiri," katanya.
Menurut dia, jika pers hanya mengandalkan kepentingan bisnis, tapi mengorbankan kepentingan publik berarti tidak fair, apalagi kalau sampai memihak kepada calon tertentu. "Kalau memang memihak ya terjun saja ke dunia politik, jangan di media massa," katanya.
Pandangan itu juga dibenarkan mantan CEO Tempo Bambang Harymurti (BHM) yang mengajak media untuk berpikir jernih dalam melihat kepentingan bisnis dan kepentingan publik, karena kepercayaan masyarakat juga penting untuk bisnis.
"Pengalaman saya bergaul dengan banyak pejabat dan pebisnis menunjukkan adanya dilema yang sering kita hadapi antara kepentingan bisnis dan kepentingan publik. Umumnya, media memilih kepentingan bisnis dengan mengorbankan kepentingan publik," katanya.
Menurut wartawan kawakan itu, hal itu mungkin tidak salah, namun hal itu akan menjadi kepentingan berjangka pendek. "Media seharusnya memilih kepentingan publik, karena media memang ada untuk publik. Kalau publik sudah percaya, yakinlah kita masih bisa hidup," katanya.
Dalam acara yang banyak dihadiri pimpinan redaksi di Bali itu, BHM mencontohkan polemik yang dialami Washington Post dan disajikan dalam sebuah film berjudul "The Post", namun BHM juga mencontohkan polemik yang dialami Tempo sendiri dalam "kedekatan" dengan pejabat/pebisnis.
Diakui atau tidak, masyarakat dan politikus sering memainkan isu identitas menjelang Pilpres 2019, karena isu-isu SARA yang "bermain" ditengah semakin tajamnya perbedaan itu dianggap menguntungkan politikus, parpol, dan calon tertentu, meski membahayakan publik.
Padahal, isu-isu identitas dalam format SARA itu hanya "nyaring" menjelang pilkada, namun tidak akan dipakai pasca-pilkada, bahkan masyarakat justru mengalami dua kerugian yakni terbelah dalam perbedaan yang bisa berujung konflik dan tertipu "kucing dalam karung" dengan memilih pemimpin tanpa tahu visi, misi, dan program, kecuali hanya mendapatkan isu-isu yang tidak produktif itu.
Oleh karena itu, media massa hendaknya memihak kepada kepentingan publik dengan mengesampingkan isu-isu provokatif yang "memecah" bangsa melalui sajian informasi yang merujuk pada jurnalisme bermartabat melalui adu program dan bukan adu #2019GantiPresiden yang tidak terpakai pasca-pilpres.
(E011/Z. Meirina)
Artikel - Media massa vs media sosial diantara #2019gantipresiden
Sabtu, 15 September 2018 11:41 WIB