Pontianak (ANTARA) - Sekretaris Utama BNN RI, Irjen (Pol) Adhi Prawoto menyatakan, petani kratom yang ada di Kalbar, dan Indonesia umumnya diberikan batas waktu lima tahun untuk mengganti tanaman tersebut dengan tanaman alternatif lainnya.
"Tanaman kratom ini menjadi budidaya masyarakat. Dan zat di dalam tanaman kratom sendiri sudah dilakukan penelitian dan dipaparkan oleh Prof Dr Asep Gana Suganda dari Farmasi Institut Teknologi Bandung," kata Adhi Prawoto di Pontianak, Kamis.
Ia menjelaskan, tanaman tersebut, mengandung zat aktif mitragyna speciosa, dari "keluarga" Rubiaceae dan bahan aktif utama kratom adalah alkaloid mitraginin dan 7-hydroxymitragynine yang terbukti dapat memberikan efek analgesik, antiinflamasi, dan pelemas otot.
"Penggunaan dalam jumlah kecil bersifat stimulan atau sama seperti kokain, tetapi penggunaan dosis besar bersifat opioid atau sama seperti morfin heroin," ungkapnya.
Efek pertama kali mengkonsumsi kratom tersebut, badan terasa enak dan segar, dan penggunaan yang banyak, bisa menjadi ketagihan, katanya.
"Ini lebih berbahaya jika dibandingkan dengan morfin, tanaman kratom sudah direkomendasikan oleh komite perubahan penggolongan narkotika dan psikotropika oleh Menteri Kesehatan sebagai golongan 1 narkotika," ujarnya.
Tetapi, menurut dia, karena pertimbangan sosial ekonomi masyarakat Kalbar, maka tanggal 27 Februari 2019 lalu telah dilaksanakan pertemuan kembai dengan melibatkan Dinas Kesehatan Kalbar dan disimpulkan akan dilakukan kembali percepatan diregulasi setelah Pemilu 2019.
"Dengan pemberlakuan bertahap maka harus banyak dilakukan sosialisasi langsung terhadap petani kratom tersebut untuk alternativ development atau penggantian tanaman alternatif lainnya," kata Adhi.
Ia menambahkan, hingga saat ini karena diregulasi tentang kratom belum ada, maka masih bebas untuk dikonsumsi atau diperjualbelikan. "Karena belum ada aturan tertulis, atau UU, maka pengguna dan petani belum bisa dilakukan penindakan," kata Sekretaris Utama BNN RI tersebut.