Jakarta (ANTARA) - Pimpinan DPR telah menerima surat dari Presiden Joko Widodo terkait penyampaian 10 orang calon pimpinan KPK pada rapat paripurna DPR.
Setelah surat dari Presiden ini dibacakan di rapat paripurna maka akan dilakukan uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR.
Kesepuluh nama itu berasal dari hasil seleksi yang dilakukan oleh panitia seleksi calon pimpinan KPK (pansel capim) KPK. Pansel sudah bekerja sejak 17 Juni - 2 September 2019 untuk mencari orang-orang terbaik yang dapat memimpin KPK periode 2019-2023.
Berikut profil singkat 10 orang tersebut
Alexander Marwata
Alexander atau biasa dipanggil Pak Alex atau Pak Toto adalah satu-satu-satunya petahana pimpinan KPK yang melaju hingga saat ini. Pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 26 Februari 1967 ini sebelum menjadi pimpinan KPK 2015-2019 adalah hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Pak Alex masuk ke Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pada 1986 untuk menemupuh pendidikan D IV di Jurusan Akuntansi. Tahun 1995, ia melanjutkan sekolahnya lagi S1 Ilmu Hukum di Universitas Indonesia. Sejak tahun 1987-2011, Alexander Marwata berkarir di Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Pada tahun 2012, ia kemudian menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Terakhir melapor Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada 27 Februari 2019, harta miliknya tercatat Rp3.968.145.287
Dalam uji publik pada 27 Agustus 2019 lalu, Alex mengaku sempat tidak diberikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) milik seorang saksi saat memintanya kepada penyidik.
Baca juga: https://www.antaranews.com/berita/1031524/alexander-pernah-tidak-diberikan-bap-saksi-oleh-penyidik
Ia juga sempat ditanya oleh anggota pansel Diani Sadia Wati sebagai orang yang tidak tegas bahkan takut dalam mebuat keputusan
Baca juga:
https://www.antaranews.com/berita/1031544/alexander-marwata-bantah-takut-ambil-keputusan
Namun, sebagai lulusan STAN dan sedang menyusun disertasi soal tindak pidana korupsi dalam korporasi, Alex berjanji untuk menerapkan lebih banyak pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan korupsi korporasi bila ia kembali terpilih sebagai pimpinan KPK.
"Saya ingin menerapkan korupsi korporasi, sudah ada pasal 55 (penyertaan) dikenakan ke korporasi jangan menunggu lagi karena pembuktian hampir sama. Rasa-rasanya saya dorong lagi di penututan maupun penyidikan, kemarin sudah hampir Rp200 miliar dari korporoasi, dalam disposisi saya ada harus ada TPPU dan korupsi korporasi dikenakan," ungkap Alex.
Firli Bahuri
Inspektur Jenderal Pol Firli Bahuri adalah satu-satunya unsur Polri yang masih lolos ke tahap terakhir seleksi capim KPK 2019-2023.
Firli lulus dari Akademi Kepolisian pada 1990. Ia juga menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian pada 1997.
Kariernya semakin menanjak setelah ia ditarik ke Polda Metro Jaya menjadi Kasat III Ditreskrimum pada 2005-2006.
Pada 2009, ia ditarik kembali ke Ibu Kota sebagai Wakapolres Metro Jakarta Pusat. Setahun kemudian, ia dipercaya menjadi Asisten Sekretaris Pribadi (Sespri) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lalu pada 2012 ia kembali bertugas di istana sebagai ajudan Wakil Presiden Boediono.
Firli kembali dipromosikan menjadi Brigjen Polisi pada saat menjabat sebagai Kepala Biro Pengendalian Operasi Staf Operasi Polri pada 2016. Pada 2017, ia menjabat sebagai Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) menggantikan Brigjen Pol Umar Septono. Selanjutnya, karier Firli berlanjut ke KPK sebagai Deputi Penindakan pada 6 April 2018. Namun, kurang dari 1,5 tahun kemudian Firli ditarik kembali ke institusi asalnya pada 20 Juni 2019.
Penarikan dilakukan setelah Firli sempat menjalani pemerikasaan di pengawasan internal KPK. Hanya berselang 5 hari setelah kembali ke Polri, Firli dipromosikan menjadi Kapolda Sumatera Selatan.
Dalam LHKPN-nya Firli Bahuri mencatatkan kepemilikan harta Rp18.226.424.386 yang dilaporkan pada 29 Maret 2019
Saat menjalani uji publik pada 27 September 2019, Firli mengaku istrinya punya usaha pijat refleksi. Ia pun mengundang pansel dan wartawan menjajal jasa refleksi tersebut dengan harga Rp90 ribu sekali pijat.
Baca juga: https://www.antaranews.com/berita/1032442/firli-jelaskan-usaha-pijat-refleksi-milik-sang-istri
Firli juga sempat ditanyakan soal adanya ketidaksinkronan antara pimpinan dan anak buah di KPK oleh anggota pansel Harkristuti Harkrisnowo.
"Saya tidak mengalami konflik antara atasan dan bawahan di KPK," ucap Firli.
Namun, momen yang paling diingat dalam uji publik tersebut adalah Firli mengklarifikasi soal pertemuannya dengan Gubernur NTB saat itu Tuan Guru Bajang (TGB) yang disebut oleh banyak pihak melanggar etik.
Baca juga: https://www.antaranews.com/berita/1032350/firli-pimpinan-kpk-nyatakan-saya-tidak-langgar-etik
Namun, belakangan KPK membantah pernyataan Firli itu dengan mengatakan bahwa pimpinan KPK tidak pernah menyatakan, apalagi memutuskan, bahwa tidak ada pelanggaran etik oleh mantan pegawai KPK yang sekarang sedang menjalani proses pencalonan sebagai pimpinan KPK
I Nyoman Wara
I Nyoman Wara adalah auditor utama investigasi Badan Pemeriksa Keuangan. Harta yang ia laporkan dalam LHKPN per 29 Maret 2019 mencapai Rp1.674.916.713
Wara melakukan audit investigatif pada 2017 dalam kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Temuan Wara menunjukkan adanya kerugian negara sebesar Rp4,58 triliun.
Belakangan hasil audit Wara justru dipersoalkan karena berbeda dengan audit yang dilakukan BPK pada 2002 dan 2006 yang menyebutkan tidak ada kerugian negara. Wara pun digugat perdata oleh pemilik BDNI Sjamsul Nursalim di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang pada Juli 2019, dan kasusnya masih berlangsung hingga saat ini.
Dalam uji publik pada 27 Agustus 2019, Wara ditanya anggota pansel Diani Sadia Wati mengenai cara kepemimpinannya.
"Bapak sosok pekerja keras benar tidak? Serius banget, bapak lurus, pakai kacamata kuda, kalau terpilh jadi pimpinan dengan cara collective colegial dan dengan karakter bapak seperti ini sedangkan komisoner lain tidak setuju bagaimana?" tanya Diani.
"Siapa pun jadi pimpinan KPK harus siap collective colegial, siap dengar dari pihak lain dan memperoleh kesepakatan mengenai apa yang harusnya dilaksanakan," jawab Wara.
Wara juga sempat mengungkapkan soal penyebab KPK hanya mendapat predikat "Wajar Dengan Pengecualian" dalam laporan keuangan 2018. Menurut Wara, hal itu terjadi karena KPK tidak beres untuk mengadministrasikan barang sitaan dan rampasan sehingga berselisih hingga Rp500 miliar
Lili Pintauli Siregar
Lili menjadi perempuan satu-satunya yang lolos ke tahapan 10 besar capim KPK.
Lili sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada 2008-2018 dengan nilai harta yang dilaporkan pada 29 Maret 2018 senilai Rp70.532.889 dan tidak lengkap.
Dalam uji publik 28 Agustus 2019, pansel capim KPK banyak mendalami soal peran Lili di LPSK yang ikut mendampingi terdakwa koruptor karena berstatus sebagai justice collaborator atau tersangka yang bekerja sama dengan penegak hukum.
Luthfi K Jayadi
Luthfi berasal dari aktivis antikorupsi di Malang, Jawa Timur. Ia adalah Dewan Pengurus Perkumpulan Malang Corruption Watch (MCW).
Karena bukan penyelenggara negara, Luthfi pun tidak punya kewajiban untuk melaporkan LHKPN miliknya.
Dalam uji publik 28 Agustus 2019, Luthfi sempat dicecar oleh wakil ketua pansel Indriyanto Seno Adji soal berapa jumlah kedeputian di KPK.
Luthfi menjawab lima, yang sayangnya menurut Indriyanto yang sempat menjadi Plt Pimpinan KPK pada 2015 jumlahnya hanya empat.
Luthfi pun gagal menjawab perbedaan pasal 5 dan pasal 12 huruf a dan b UU Pemberantasan Tipikor yang diajukan Indriyanto.
"Kalau ekspose bapak harus tahu hukum, bisa paham tidak bedanya pasal 5 dan pasal 12 huruf a dan b?" tanya Indriyanto.
"Tidak paham," jawab Luthfi.
"Paham perampasan aset in rem dan in personam?" tanya Indriyanto.
"Tidak," jawab Lutfhi.
Nawawi Pamolango
Nawawi Pamolango adalah hakim tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar. Ia melaporkan LHKPN miliknya berjumlah Rp1.893.800.000
Nawawi, kelahiran Manado, 28 Februari 1962 adalah lulusan Universitas Sam Ratulangi, dan selesai pada 1986.
Karier awal Nawawi sebagai hakim dimulai pada 1992 di Pengadilan Negeri Soasio Tidore, Kabupaten Halmahera Tengah. Pada 1996, ia kemudian pindah tugas ke PN Tondado, Sulawesi Utara. Ia kembali dipindahkan ke PN Balikpapan pada 2001 dan pada 2005 dimutasi ke PN Makassar. Selanjutnya pada 2010 dia berhasil menjabat sebagai Ketua PN Poso.
Kariernya berlanjut sebagai hakim di PN Jakarta Pusat dari 2011 hingga 2013. Nawawi menangani sejumlah kasus korupsi, salah satunya korupsi kuota impor daging sapi dengan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fatonah.
Nawawi kemudian jadi Wakil Ketua PN Bandung pada 2013 dan Ketua PN Samarinda pada 2015. Selanjutnya pada 2016 ia menjabat Ketua PN Jakarta Timur hingga pada 2017, ia menjabat sebagai hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Denpasar.
Dalam uji publik 28 Agustus 2019, ketua pansel Yenti Ganarsih meminta agar bila Nawawi menjadi pimpinan KPK, seluruh kasus praperadilan terhadap KPK dijamin menang.
"Saya sempat katakan ke pimpinan MA, 'Pak betul praperadilan itu kompetensi hakim tapi kalau bisa praperadilan korupsi sebaiknya hakim yang punya sertifikasi tipikor karena berbeda hakim peradilan umum dengan hakim tipikor, karena semangatnya beda," jawab Nawawi menanggapi tantangan Yenti.
Nawawi juga menilai adalah hal yang lucu bagi para pegawai KPK untuk mengugat keputusan pimpinannya sendiri, padahal di MA yang punya 32 ribu personel, tidak ada yang menggugat pimpinan MA ke pengadilan karena dimutasi.
Ia pun mengaku rela melepaskan jabatan sebagai hakim tinggi untuk dapat menjadi pimpinan KPK, artinya mempercepat masa pensiunnya.
Baca juga:
https://www.antaranews.com/berita/1034452/capim-kpk-nawawi-rela-melepas-jabatan-hakim
Nurul Ghufron
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Nurul Ghufron melaporkan LHKPN terakhir pada 23 April 2018 dengan nilai Rp1.832.777.249
Nurul dalam uji publik 28 Agustus 2019 banyak dicecar soal LHKPN, penyalahgunaan fasilitas kampus, plagiarisme, demonstrasi, pembayaran pajak, kepatuhan LHKPN, sakit akut hingga aktivitasnya sebagai pengacara yang dilarang karena sudah menjadi aparatur sipil negara (ASN).
"Bapak pernah rawat inap dengan diagnosa vertigo level 2, padahal dengan tugas fungsi KPK yang kita tahu sekarang ini kondisinya seperti apa, sanggup gak bapak?" tanya anggota pansel capim KPK Diani Sadia Wati.
"Itu pada tahun 2012 saat saya mengerjakan disertasi, setelah itu kami tidak pernah kena lagi," jawab Nurul.
"Tapi masih mencantumkan sebagai praktisi hukum di satu law firm ya?" tanya anggota pansel Harkristuti Harkrisnowo
"Hanya dicantumkan sebagai tenaga ahli," jawab Nurul.
"Tapi kan Anda ASN, tidak boleh loh, ASN (Aparatur Sipil Negara) tidak boleh sebagai konsultan atau tenaga ahli," kata Harkristuti.
"Saya tidak litigasi, hanya tenaga ahli, konsultan," jawab Nurul.
"Iya sama saja, saya kasih tahu saja dulu sebelum Anda dipanggil KPK," kata Harkristuti.
"Hanya dicantumkan saja belum diperbaiki," jawab Nurul.
Roby Arya Brata
Roby Arya Brata sudah tiga kali menjalani seleksi capim KPK periode 2015-2019. Ia pertama kali mengikuti seleksi Capim KPK pada periode kerja 2011-2015, lalu 2015-2019.
Dua kali tak lolos ia cemerlang berkarier sebagai ASN di lembaga Sekretariat Kabinet (Setkab). Sejak 2011-2018, Roby adalah kepala bidang Hubungan Internasional (HI) Setkab.
Setelah setahun mengurusi bidang HI, Roby pindah menjadi Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Penanaman Modal, Dan Badan Usaha Setkab sejak dilantik Agustus 2018. Roby pernah membantu Presiden SBY di UKP3R (Unit Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi) pada 2008-2010 sebagai asisten kepala unit.
Lembaga itu sempat menuai kontroversi, mulai dari banyaknya pertanyaan perihal urgensi pembentukannya hingga konflik internal pada koalisi SBY-Jusuf Kalla (JK).
LHKPN Roby per pelaporan 31 Desember 2018 adalah Rp1,8 miliar
Roby mengaku ingin mengajukan revisi Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi agar dapat memasukkan Dewan Pengawas dalam struktur institusi penegak hukum tersebut.
Roby juga menilai visi KPK yang menginginkan Indonesia bebas dari korupsi keliru dan ingin mengubahnya agar lebih efektif.
Baca juga: https://www.antaranews.com/berita/1035250/roby-arya-sebut-visi-kpk-keliru
Namun, yang cukup kontroversial, Roby Arya menyebut bila ia menjadi komisioner KPK 2019-2023 maka lembaga yang dipimpinnya itu tidak akan mengusut perkara korupsi yang melibatkan personel kepolisian maupun kejaksaan.
"Ubah Undang-undang No. 30 tahun 2002, karena ini terjadi ada kesalahan di UU 30/2002, apa kesalahannya? Karena KPK punya kewenangan menyidik korupsi di Kepolisian dan Kejaksaan. Kalau saya ke depan, KPK tidak lagi punya kewenangan untuk menyidik korupsi di Kepolisian dan Kejaksaan. Tidak lagi," kata Roby
Sigit Danang Joyo
Kepala Subdirektorat Bantuan Hukum Ditjen Pajak Sigit Danang Joyo juga melaju ke 10 besar capim KPK. Harta miliknya berdasarkan pelaporan LHKPN 31 Desember 2018 adalah sebesar Rp2,9 miliar
Sigit mengaku pernah diminta untuk membuat konsep strategi nasional pemberantasan korupsi pada zaman Presiden SBY dan juga sempat membantu di UKP3R. Sigit pun bersahabat dengan mantan wakil Menkumham Denny Indrayana.
Sigit Danang Joyo mengaku ingin menambah personel di KPK yang khusus mengurusi pencegahan korupsi.
"OTT (operasi tangkap tangan) dan sebagainya sudah bagus sepanjang berdasar alat bukti yang kuat, yang jadi masalah penindakan bagus tapi seolah jadi parade festival OTT, penindakan dilakukan tapi jangan ke wilayah-wilayah yang sifatnya politis karena penindakan dan pencegahan ini seperti dua mata pisau yang kadang bertentangan," ujar Sigit.
Jadi siapa lima orang pimpinan KPK yang akan dipilih DPR? Masyarakat Indonesia menantikan mereka yang berintegritas dan visioner memimpin lembaga penegakan hukum tersebut.