Pontianak (ANTARA) - Pengamat transportasi dari Universitas Tanjungpura, Rudi S Suyono mengatakan, masyarakat perlu memahami struktur pendapatan bagi driver online.
Menurut Rudi dihubungi di Pontianak, Jumat, mitra ojek online selama ini masih terbuai oleh dengan adanya insentif atau bonus yang diberikan aplikator.
"Selama ini mereka terbuai dengan insentif, kemudian mereka merasa pendapatan mereka sudah cukup besar walaupun mungkin mereka tidak tahu kalau aplikator melakukan bakar-bakar uang atau subsidi. Sementara aplikator perlu menjaga keberlangsungan perusahaan, sehingga industri ini-pun bisa bertahan lama," kata dia.
Hanya saja, dalam hal ini, Rudi menyebutkan bahwa pemerintah juga memiliki andil untuk menjaga agar penyelenggara aplikasi, yang telah menjadi sumber penghasilan bagi jutaan orang di Indonesia ini, dapat berkembang dengan baik.
Rudi juga menambahkan, keberadaan ojek online telah memberikan kontribusi cukup baik kepada masyarakat.
"Artinya dalam banyak sisi orang-orang dimudahkan dengan adanya ojol. Apalagi di Pontianak. Di sini nggak ada angkutan umumnya loh. Kita tidak punya angkot, bus, taksi, jadi dengan keberadaan ojol ini sebenarnya sangat membantu bagi masyarakat," ujar dia.
I juga memandang bahwa industri ojol penting untuk dijaga keberlangsungannya, karena kontribusinya terhadap perekonomian digital di Indonesia. Namun saat ini terdapat pemahaman yang salah mengenai insentif, ini yang mengakibatkan ojol ini dilanda masalah dalam beberapa waktu kebelakang,
Rudi juga mengatakan diperlukannya komunikasi yang lebih baik diantara aplikator, mitra dan pemerintah. "Jadi pembenahan itu seperti memberikan obat ya, pahit dan tidak nyaman. Tapi memang ini yang harus dilakukan,” tambah Rudi.
Rudi melihat industri bergerak berdasarkan dua sisi: supply dan demand. Oleh sebab itu, perusahaan ojek online harus bisa menjaga demand dan menyediakan suplai dengan baik. Sehingga tidak ada aplikator penyedia jasa ojek online yang jorjoran membuang uang untuk hal—hal yang sebenarnya tidak perlu.
“Maksud saya tidak perlu, kenapa mereka harus banting harga sampai serendah mungkin sampai bayar sekali perjalanan hanya Rp1000 yang harusnya Rp5000 misalnya, padahal secara ekonomis ini nggak memungkinkan. Inikan persaingan tidak sehat. Kalau itu dalam rangka marketing, memberikan dalam waktu-waktu yang tertentu tak jadi masalah. Tapi yang terjadi sekarang adalah pembiasaan," kata dia.
"Masyarakat di satu sisi sudah terbiasa, drivernya dengan insentif mereka sudah terbiasa, akhirnya mereka merasa bahwa itulah yang wajib mereka terima. Padahal enggak,” ujar Rudi.
”Kalau kita bandingkan dengan taksi konvensional, apa iya mereka insentif seperti tu? Ada banting harga seperti itu? Jadi proses ini yang harus dijaga oleh masing-masing pengusaha tadi. Dan pemerintah harus mengawasinya,” lanjutnya.
Beberapa waktu lalu aksi ojek online terus bergulir pasca ditetapkannya kebijakan tarif baru aplikator. Padahal tarif baru yang diberlakukan aplikator sudah sesuai dengan aturan pemerintah melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 dan Kepmenhub 348 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat.
Pengamat : Ojek online harus fokus pendapatan sesungguhnya
Jumat, 6 September 2019 18:43 WIB