Tokyo (ANTARA) - Ketika hubungan antar manusia sudah terjalin dekat, kata-kata kerap kali tidak terlalu diperlukan. Gerak-gerik sudah jadi sinyal untuk saling memahami.
"Uncle" (judul asli: "Onkel") menangkap hal tersebut lewat kisah yang berkisar pada secuil kehidupan masyarakat Denmark di pedesaan yang masih mengandalkan peternakan sebagai tempat mencari nafkah.
Kris (Jette Søndergaard), perempuan usia 20-an, tinggal berdua bersama pamannya (Peter Hansen Tygesen) yang terkena stroke.
Mereka berdua mengurus peternakan yang luas. Membersihkan traktor, memberi makan sapi hingga memerah susu. Peternakan itu sungguh luas sampai rasanya satu hari tidak cukup untuk mengerjakan A sampai Z. Waktu Kris habis untuk bekerja sekaligus mengurus pamannya yang setengah lumpuh.
Dia bukan cuma jadi ponakan, Kris mengurus semua hal tentang pamannya, termasuk membantunya mengenakan pakaian dalam setiap habis mandi.
Rutinitas itu berulang tanpa ada perubahan. Pada pagi hari, Kris akan membuat sarapan untuk mereka berdua. Pamannya asyik menonton berita di televisi, sementara Kris berkutat dengan buku sudoku sambil mengisi perut. Kris punya dunianya sendiri, dia tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di dunia luar.
Mereka kemudian mengurus hewan ternak. Malam dihabiskan dengan menonton televisi sambil bersantai di sofa. Sesekali mereka ke toserba untuk membeli keperluan yang persediaannya sudah habis di rumah.
Rutinitas Kris mulai berubah ketika dokter hewan Johannes (Ole Caspersen) singgah ke peternakan untuk membantu proses kelahiran sapi. Kris, yang dulu belajar di sekolah dokter hewan tapi mencampakkan ilmunya demi peternakan, kembali tertarik dengan dunia yang pernah dia selami.
Dunia Kris semakin berwarna ketika ia berkenalan dengan seorang pria muda, jarang ditemui di desa mereka yang didominasi lansia, bernama Mike (Tue Frisk Petersen).
Pria yang ditaksir Kris ini merupakan tipikal dari anak muda di Denmark yang ingin pergi ke Copenhagen untuk mengejar mimpinya, tak mau meneruskan usaha orangtuanya di desa.
Akankah Kris melakukan hal yang sama dan meninggalkan pamannya tanpa ada yang mengurus di desa?
Perlahan, kita jadi terbiasa dengan rutinitas Kris dan pamannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tentang pilihan
"Uncle" adalah film panjang kedua dari Frelle Petersen yang juga jadi penulis, sinematografer dan editor dalam film ini. Sebelumnya dia telah membuat film-film pendek seperti "As You Were" (2011), "Going Nowhere" (2010) dan "Mommy" (2012).
Frelle sengaja membuat cerita bergulir lambat dengan sesedikit mungkin suara di luar suara alami.
"Saya suka film-film Jepang, dan ketika saya membuat 'Uncle', produser saya bilang 'akhirnya kamu membuat film Jepang versi kamu sendiri'," ujar sutradara kelahiran 1980 itu dalam sesi tanya jawab di Festival Film Internasional Tokyo 2019, Roppongi Hills, Tokyo.
"Uncle" bukan tipikal film Denmark, gaya penceritaannya lebih serupa dengan film Jepang yang tidak takut membiarkan penonton menikmati adegan tiap adegan dalam keheningan, atau suara seminimal mungkin.
Penyuka karya sutradara Jepang Hirokazu Koreeda itu sengaja membuat film yang minim dialog.
"Menurut saya, tidak perlu banyak dialog untuk membuat hubungan antara paman dan keponakan, itu yang saya lihat sendiri dalam kehidupan sehari-hari."
Tanpa banyak bicara, anggota keluarga yang setiap hari menjalani kehidupan bersama-sama bisa saling berkomunikasi dan memahami hanya melihat dari tingkah laku masing-masing.
Sutradara kelahiran Jutland Selatan, Denmark ini mengangkat kehidupan di pedesaan karena ingin memperlihatkan fenomena yang terjadi juga di Indonesia dan negara-negara lain.
Generasi muda di desa memilih untuk hidup dan berkarir di kota besar yang lebih menjanjikan, meninggalkan kampung halamannya yang hanya dihuni oleh orang-orang tua. Frelle adalah salah satu dari anak muda yang meninggalkan rumahnya untuk sekolah di Copenhagen.
"Saya ingin tahu bagaimana kehidupan anak muda yang memilih untuk tetap di desanya," ujar dia.
Ketika terungkap alasan mengapa Kris hanya tinggal berdua dengan pamannya, kita jadi lebih mengerti mengapa Kris sangat protektif terhadap satu-satunya kerabat yang sudah dianggapnya sebagai ayah.
Kris yang sudah yatim piatu sejak kecil rela mengorbankan kesenangan dan kebebasan masa muda demi memastikan pamannya baik-baik saja.
Film bergenre drama ini tak melulu serius. Ada juga bagian-bagian yang membuat penonton terbahak, seperti saat Kris mengajak pamannya menemani dia berkencan dengan Mike karena khawatir bila meninggalkannya sendirian di rumah.
Suasana kencan makan malam yang harusnya romantis berubah jadi sangat canggung. Sutradara mengungkapkan, suasana canggung itu betul-betul terlihat jelas di kamera karena dia sengaja tidak mengatakan "cut" sehingga para pemain harus tetap berakting ketika dialog mereka sudah habis diucapkan.
Pun ada adegan yang lebih membuat penonton Jepang tertawa, ketika paman mengutarakan rasa heran begitu mendengar cerita Kris menyantap sushi. "Apa enaknya? Cuma ikan mentah?".
Yang unik, karakter paman dalam film betul-betul paman kandung dari sang aktris, begitu pula dengan peternakan dan rumahnya.
Agar lebih memahami kehidupan di peternakan, Frelle membeli karavan tua dan menjadikannya kantor/rumah di belakang kandang hewan-hewan ternak. Dia mengamati aktivitas Peter, paman Jette sekaligus aktor utama, selama beternak.
Frelle yang pernah bekerjasama dengan Jette ingin membuat karya baru yang dibintangi si aktris. Setelah memutar otak, ia memutuskan untuk membuat cerita mengenai hubungan paman dan keponakan.
Melihat kemampuan Peter di hadapan kamera, tanpa banyak cincong pria paruh baya itu langsung didapuk jadi aktor utama. Hasilnya, sebuah penampilan yang betul-betul otentik dan hangat.
"Saya enggak perlu banyak latihan untuk peran ini," ujar aktris Jette yang semakin dekat dengan pamannya setelah proses syuting.
Jette pernah belajar jadi dokter hewan sebelum menekuni akting, itulah yang membuatnya terlihat tak kikuk ketika harus bekerja dengan hewan, termasuk adegan ketika ia membantu proses kelahiran sapi.
"Kami begadang dua malam lho di peternakan untuk nunggu sapi beranak!" ujar Jette pada ANTARA.
"Dan proses melahirkannya cepat banget, cuma sepuluh menit. Sutradara tergopoh-gopoh bawa kamera untuk merekam adegan itu," kenang Jette yang berharap setelah "Uncle", ia bisa mendapatkan agen manajemen aktor dan bermain di lebih banyak film Denmark.
Adegan tersebut diambil paling terakhir, ujar sutradara pada ANTARA, karena dia belum tentu bisa menemukan sapi yang melahirkan setiap hari. Jadi, Frelle menghubungi banyak peternak untuk mengabarinya bila ada hewannya yang akan beranak.
"Saat editing, ada satu bagian video yang saya bikin blank dengan tulisan 'semoga kita bisa dapat video sapi melahirkan'," seloroh Frelle.
Film berdurasi 105 menit ini adalah potret sehari-hari dalam kehidupan manusia yang pada suatu titik akan menghadapi pilihan berat dalam hidup, ada yang memilih untuk mengikuti mimpinya, ada yang memilih untuk kompromi.
Baca juga: Resensi film - "Old Men Never Die", ketika geng lansia mencari pencabut nyawa
Baca juga: Resensi film - Kengerian tak berkesudahan di "Perempuan Tanah Jahanam"
Baca juga: Resensi film - "The Peanut Butter Falcon", kisah petualangan yang membuat hati meleleh