“Kami sekampung heboh dengan kehadiran sosok berbulu berukuran besar berkeliaran, walau berhasil dievakuasi, tapi akhirnya tewas akibat luka bakar,” kata Wali ketika Antara bertandang kerumahnya di Desa Wajok Hilir, Jumat (27/12/2019).
Wali mengatakan, dulu sebelum ada pembukaan lahan perkebunan secara besar besaran, kejadian seperti ini tidak pernah terjadi. Ia menduga orang utan masuk pemukiman untuk mencari makanan. Karena hutan belantara yang penuh buah buahan pakan alami orang utan di kawasan Wajok kini telah punah ditebang dan beralih menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Pasca kejadian itu, orang dari BKSDA dan WWF datang dan melakukan sosialisasi tentang orang utan ini, jadi jika ada orang utan yang masuk ke pemukiman, sudah tahu harus berbuat apa dan menghubungi siapa,” pungkas Wali.
Kejadian serupa terulang di tahun 2018, di Parit Yakob yang masih dalam wilayah administrasi Desa Wajok Hilir.
Satu orang utan jantan didapati masuk ke dalam kebun semangka dan nanas milik seorang warga.
Waktu itu, Sudaryo, Ketua RT 03 Dusun Cokelat Parit Yakob bersama warga bergotong royong berusaha membujuk orang utan tersebut turun dari pohon.
“Kita tangkap pakai jaring, mungkin kelaparan dan lelah dia hanya sempat melawan sebentar. Karena ketika kami kasih buah buahan, Orang utan itu makan dengan lahapnya tanpa peduli ramainya warga berkerumun,” kata Sudaryo.
Dua peristiwa ini disesalkan oleh Abdul Majid, tokoh desa yang juga mantan Kepala Desa Wajok Hilir. Majid mengaku sebelumnya tidak pernah ada orang utan masuk kedalam kampungnya. Karena membuat warga takut dan enggan sendirian didalam ladang.
“Maklumlah, dulunya kami cuma tau dari film di televisi, kami tak bisa membedakan mana orang utan mana yang gorila. Setau kami dari film, gorila itu berbahaya,” tutur Majid.
Majid menjelaskan bahwa lokasi pemukiman desa lumayan jauh dengan hutan makanya keberadaan orang utan tidak pernah dilihat warga sebelumnya. Namun terusiknya habitat mereka membuat bermacam hewan keluar dari hutan.
Mereka yang menolak punah
Populasi orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus) diambang kepunahan akibat konflik antara manusia dan orang utan setiap tahun. Habitat mereka di rimbunnya hutan tropis Kalimantan telah rusak akibat alih fungsi menjadi pemukiman, perkebunan kelapa sawit, pertambangan maupun kebakaran hutan.
Dilansir dari laman WWF.or.id , pada tahun 2004, para ahli orang utan memperkirakan total populasi orang utan Kalimantan di Pulau Borneo ada sekitar 54 ribu individu, dan di antara tiga subspesies yang ada, Pongo pygmaeus pygmaeus adalah subspesies yang paling sedikit populasinya yakni sekitar 3,000 hingga 4,500 individu.
“Yang terakhir kami mendapat laporan dari masyarakat yang mendapati sarang Orang utan di pepohonan pinus disekitar pemukiman warga di Desa Wajok, Sei Rengas,” kata Albert Tjiu, Programatic Manager WWF-Indonesia saat ditemui di Pontianak, Kamis (12/12/2019).
Menurut Albert, orang utan sangat tergantung pada pohon, hampir sepanjang hari mereka berkegiatan di atas pohon. Sekarang mereka mulai terdesak dan tidak ada pilihan lain untuk bertahan hidup, karena bersarang dipohon Pinus bukan kebiasaan orang utan yang kerap membuat sarang di pohon durian kayu, kompas, punak, rengas dan pohon kayu belian yang sudah musnah terkena land clearing (pembersihan lahan) di kawasan Wajok Hilir.
“Untuk mempertahankan keberadaan orang utan dibutuhkan peran dan tindakan dari perusahaan dan masyarakat untuk restorasi habitat. Jaga dan biarkan orang utan disana, jangan diganggu atau pilihan terakhir adalah translokasi mereka secepatnya,” tutup Albert.
Monyet menjadi hama
Bukan hanya orang utan yang terusir dari habitatnya akibat alih fungsi hutan, Dusun Nanas di Desa Wajok Hilir yang dihuni 102 Kepala Keluarga juga merasakan dampak dari pembabatan hutan tersebut.
Keterangan dari Jailani, Kepala Dusun Nanas Desa Wajok Hilir, ada dua korporasi yang beroperasi dalam Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Yakni PT. Muara Sungai Landak (MSL) dan PT. Mitra Andalan Sejahtera (MAS).
PT.MSL mendapat izin konsesi mengelola hutan tanaman seluas 13000 Hektar. Sedangkan PT.MAS membuka lahan perkebunan kelapa sawit sekitar 6000 hektar.
“Semenjak hutan di sekitar Wajok terkena alih fungsi lahan, monyet kecil berekor panjang yang biasa kita jumpai didalam hutan, bergerombol sampai puluhan ekor masuk dan merusak ladang warga dikampung kami, Tapi kalau orang utan sampai hari ini belum pernah nampak,” kata Jailani.
Jailani merasa heran karena dulu tidak pernah monyet masuk ke ladang pemukiman warga, tapi sekarang hampir setiap hari rombongan monyet ini masuk dan memakan pisang, nanas bahkan kelapa muda milik warga.
“Saya ingin pihak yang terkait untuk mencarikan solusi karena monyet sudah menjadi hama dan musuh para peladang disini, kami tidak bisa lagi menanam buah buahan, akibatnya pendapatan warga menurun secara drastis,” harapnya.
Komitmen PT Muara Sungai Landak
PT Muara Sungai Landak (MSL) melalui Manajer Operasional, Himawan, mengaku PT MSL sudah berjalan sesuai hukum dan peraturan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Dan juga, kami menerapkan kebijakan lingkungan untuk memfungsikan ekologi. Menjaga dan melindungi bukan hanya orang utan tapi untuk seluruh satwa liar,” kata Himawan, Kamis (2/1/2020) di Pontianak.
Himawan juga mengatakan, PT MSL sudah beberapa kali bekerjasama dengan Fakutas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak untuk mensurvey jenis ikan dan burung di kawasan yang mereka kelola.
“Dalam proses survey memang beberapa kali ada ditemui orang utan, Namun kemunculan mereka secara acak dan berpindah, yang bisa kami lakukan hanya memantau dan terus membangun kemitraan dengan masyarakat yang berbatasan dengan PT MSL,” sambung Himawan.
Secara nyata, Himawan mengatakan, PT MSL menanam pisang di sepanjang jalan koridor 1,5 Kilometer untuk pakan hewan yang menghuni di hutan lindung yang masih asri dan memang dibiarkan tidak tersentuh seluas 900 Hektar didalam kawasan PT MSL.
“Kita selalu update dan sosialisasi ke para karyawan khususnya yang berada di lapangan jika menemukan ada individu orang utan keluar dari zona hutan lindung, segera menghindar dan melaporkan ke BKSDA, jangan diusik,” tutup Himawan.
Cagar Alam Mandor Tinggal Kenangan
“Tak bisa dipungkiri, fenomena satwa masuk ke pemukiman warga, seperti gajah, harimau di Sumatera, Beruang bahkan orang utan di beberapa daerah di Kalimantan akibat habitat mereka terganggu,” ujar Suparto HS Kepala Seksi III BKSDA Wilayah Singkawang, membuka percakapan saat ditemui Antara, Jumat (24/1/2020) di Pontianak.
Data dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat menyebutkan ada enam laporan dari masyarakat adanya orang utan masuk pemukiman. Yang pertama terjadi pada tahun 2012 di Kecamatan Wajok Hilir dan laporan terakhir pada 2018, juga di Kecamatan Wajok Hilir.
“Pembukaan lahan secara masif membuat orang utan kesulitan mencari makan dan bertahan hidup, hingga mereka menyebar kehutan kecil dekat pemukiman warga, harusnya perusahaan menyisihkan sedikit lahan mereka untuk areal konservasi yang menyediakan tumbuhan dan pepohonan pakan alami satwa liar,” sambung Suparto.
Menurut BKSDA, translokasi adalah jalan keluar terbaik saat ini. Terlebih jika kondisi ruang geraknya sudah terlalu sempit, tidak ada cara lain harus segera direlokasi.
“Translokasi memakan waktu yang panjang. Penanganan yang super ekstra hati hati. Pengamatan dilakukan tim evakuasi hampir berminggu-minggu untuk orang utan yang akan dievakuasi . Di lokasi tim mengamati orang utan bersarang dan tidur dipohon yang mana sebelum dibius dan direlokasi ke Ketapang, kalau dulu mungkin bisa diantar ke Cagar Alam Mandor,” kata Suparto.
Dulunya ada Cagar Alam Mandor yang merupakan hutan belantara habitat orang utan yang membentang hingga ke Gunung Sanghyangan. Belantara yang sudah ditetapkan menjadi Cagar Alam sejak tahun 1930 oleh Pemerintah Hindia Belanda itu kini rusak akibat ilegal loging dan penambangan liar.
“Padahal disitu (Cagar Alam Mandor) batang pohon dan buah buahan hutannya punya kualitas terbaik, tidak ada pernah kejadian orang utan keluar hutan pada masa sebelum cagar alam diusik. Tapi ya keserakahan manusia, liat saja kondisinya sekarang, sudah porak poranda, tinggal kenangan,” ucap Suparto.
Suparto mengakui, tidak banyak yang bisa dilakukan BKSDA dalam mempertahankan dan memperbaiki keberadaan Cagar Alam Mandor. Ia hanya bisa berharap warga masyarakat mau bekerja sama dan berkomitmen menjaga hutan dan tidak menggarap hutan secara serampangan.
“Personil kami yang jumlahnya terbatas, selalu kucing-kucingan dengan pelaku illegal loging dan penambangan liar. Hari ini kami datang mereka bersembunyi, begitu kami lengah, mereka beroperasi lagi,” pungkas Suparto menutup percakapan.