Pontianak (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR RI asal Dapil Kalbar 1, Alifudin menilai bahwa pemerintah lebih baik melakukan reformasi tata kelola daripada menaikkan iuran BPJS Kesehatan sehingga tidak menambah beban masyarakat.
"Presiden kembali meneken Perpres Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang lagi-lagi berisi kenaikan iuran. Meski kenaikan tak sama jumlahnya tetap saja hal tersebut dinilai memberatkan," ujarnya di Pontianak, Kamis.
Ia menambahkan bahwa reformasi tata kelola dan manajemen BPJS secara keseluruhan jauh lebih penting karena persoalan mendasarnya pada tata kelola.
"Persoalan mendasar dari BPJS Kesehatan adalah perlunya perbaikan manajemen dan tata kelola secara keseluruhan yang mestinya dibenahi, bukan menambah masalah baru. Dengan menaikkan iuran selama ini sudah terjadi beberapa kali penyesuaian tapi nyatanya masih terus defisit," katanya.
Sebagaimana diketahui, Perpres No 64 tahun 2020 menuai polemik karena kembali menaikkan iuran meski bertahap dengan skema subsidi di dalamnya.
Sebelumnya, putusan MA Nomor 7_P/HUM/2020 terkait uji materiil peraturan presiden (perpres) Nomor 75 Tahun 2019 yang berakhir dengan kekalahan pemerintah atas dasar putusan tersebut pemerintah harus membatalkan kenaikan iuran BPJS. Tidak sampai di situ, pemerintah juga diwajibkan mengembalikan kelebihan bayar iuran peserta.
"Kembali, Perpres nomor 64 tahun 2020 sangat mengecewakan meskipun ada bahasa subsidi di sana. Namun, tetap saja substansinya sama yaitu kenaikan iuran dan ini harus kita tolak," kata politis PKS Kalbar tersebut.
Selain kenaikan iuran, Alifudin juga menyoroti keputusan MA yang sudah mengikat bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam pasal 34 Perpres Nomor 75 tahun 2019 yang bertentangan dengan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
"MA sendiri sudah menjelaskan dalam putusannya bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 2004. Kenapa masih ngotot ingin dinaikkan," kata dia.*