Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR Abdul Wahid mengingatkan sebelum melarang ekspor kelapa bulat, pemerintah harus membuat kebijakan penetapan harga kelapa seperti pada kelapa sawit.
Menurut dia, harus dibuat penetapan harga terendah terhadap komoditas kelapa, sehingga saat harga jatuh di bawah harga penetapan terendah, maka ada lembaga semacam Perum Bulog yang membeli kelapa petani.
"Kalau aturan soal harga kelapa ini sudah ada, baru pemerintah bisa mengeluarkan larangan ekspor kelapa bulat," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, menanggapi wacana penerapan larangan ekspor kelapa bulat.
Sebelumnya, industri kelapa mengajukan pengaduan ke Komisi IV dan Komisi VI DPR bahwa sejak keran ekspor kelapa bulat dibuka mereka sering kekurangan bahan baku sehingga meminta ada kebijakan melindungi industri dalam negeri dengan larangan ekspor kelapa bulat.
Wahid menyatakan sangat mendukung hilirisasi supaya Indonesia mengekspor produk olahan kelapa yang bernilai tambah tinggi.
"Tetapi dalam kondisi sekarang industri tidak sanggup membeli semua kelapa petani, juga harganya jauh di bawah kemampuan eksportir. Kalau tiba-tiba dilarang maka petani yang akan dirugikan," kata anggota DPR dari Daerah Pemilihan Riau II itu.
Menurut dia, masalah yang dihadapi industri pengolahan kelapa saat ini bukan bahan baku yang kurang, tetapi tidak mampu bersaing dengan eksportir dalam mendapatkan kelapa dari petani.
Eksportir membeli langsung dari kebun petani dengan harga lebih tinggi Rp500-700/butir dibanding industri dalam negeri.
Oleh karena itu, lanjutnya, industri kelapa lokal harus berbenah, mengapa industri pengolahan kelapa global mampu membeli dengan harga lebih tinggi. Sudah puluhan tahun industri pengolahan kelapa lokal menikmati harga kelapa yang rendah.
Tahun lalu, industri kelapa global sempat menghentikan pembelian kelapa bulat, tambahnya, akibatnya harga kelapa petani langsung jatuh.
"Larangan ekspor kelapa bulat pada saat ini akan menguntungkan industri tetapi merugikan petani," katanya.
Menurut dia, Indonesia memang tidak bisa terus menerus mengekspor kelapa bulat. Ekspor harus diubah menjadi produk olahan kelapa yang bernilai tambah tinggi.
Industri harus diperbanyak dan efisien sehingga mampu menampung dan membeli kelapa petani dengan harga seperti eksportir.
Secara terpisah, Dewan Pengawas Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia Gamal Nasir menyatakan setiap kebijakan yang dibuat harus memperhatikan kepentingan petani kelapa, jangan sampai mereka dirugikan.
Menurut dia, luas kebun kelapa Indonesia 3,7 juta ha, terluas di dunia dan di dalam negeri menduduki terluas kedua setelah kelapa sawit.
Sekitar 98 persen kelapa diusahakan oleh petani, beda dengan sawit yang hanya 41 persen.
"Kalau benar industri kurang bahan baku akibat kurang pasokan maka larangan ekspor kelapa bulat bisa diberlakukan. Syaratnya membeli dengan harga eksportir,” kata mantan Dirjen Perkebunan Kementan itu.
Membuka pasar ekspor tidak mudah, lanjutnya, kalau Indonesia sekarang tiba-tiba melarang ekspor, maka pasar akan diisi negara lain.