"Emping atau amping padi merupakan panganan kearifan lokal yang memiliki nilai sejarah dan budaya pada masyarakat petani ladang atau huma termasuk di Kabupaten Sambas dan saat ini bisa dinikmati dengan mudah karena sudah disajikan dalam kemasan. Hadirnya dan dikembangkannya Amping Sambas sebagai dedikasi pelestarian budaya lokal dan pemberdayaan ekonomi masyarakat," kata Koordinator PKH Kabupaten Sambas sekaligus Team Leader Amping Sambas Big Project Wahyudi, saat dihubungi di Sambas, Sabtu.
Ia menjelaskan emping padi pada awalnya hanya bisa didapati secara terbatas setahun sekali pada acara "mungas taon" atau syukuran panen.
"Biasanya emping padi hanya bisa didapati secara terbatas sekali setahun pada saat acara "mungas taon" atau syukuran panen. Agar bisa dinikmati kapan saja maka kami hadirkan produk emping padi ini dalam kemasan yang praktis dengan merk "Amping Sambas", katanya.
Proses pembuatannya terbilang masih tradisional dengan alat dan bahan yang masih manual.
"Alat dan bahan yang digunakan masih dengan manual, padi dioseng dengan kuali, ditumbuk dengan alu dan lesung kayu hingga menjadi pipih setelah itu dibersihkan (dipilah dan dipisahkan amping dari antah dan bekatul)," kata dia.
Amping Sambas diproduksi oleh Kelompok Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH Sambas yang tersebar di beberapa kecamatan.
"Produk ini diproduksi oleh kelompok Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH Sambas dan masih diproduksi secara manual tradisional dan terbatas," ujarnya.
Amping Padi dijual online lewat Facebook offline, termasuk di pasar wisata Pos Lintas Batas Negara dan Aruk, pengiriman ke kabupaten, kota se-Kalbar serta ke pulau jawa.
Tantangan dalam mengelola Amping Sambas masih menjadi kendala dalam proses produksi maupun pemasaran.
"Tantangannya pasti ada misalnya, ketersediaan bahan, kontinuitas produksi, penjaminan kualitas produk, rumah produksi dan mekanisasi (mesin produksi), proses sertifikasi produk (P-IRT, Izin Edar BPOM dan Sertifikasi Halal), serta perluasan pemasaran," katanya.