Jakarta (ANTARA) - Migrasi tenaga kerja internasional Indonesia secara nyata memberikan kontribusi besar bagi kehidupan banyak pekerja migran, keluarganya, dan perekonomian nasional.
Bank Dunia mencatat pada tahun 2016 terdapat lebih dari 9 juta warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, setara dengan hampir 7 persen dari total angkatan kerja Indonesia.
Di kawasan Asia Timur, hanya China dan Filipina dengan jumlah pekerja migran internasional yang lebih banyak daripada Indonesia.
Terhadap perekonomian Indonesia tahun 2016, migrasi internasional memberikan kontribusi besar berupa pengiriman remitansi senilai lebih dari Rp118 triliun atau setara dengan 8,9 miliar dolar AS (dengan rata-rata kurs pada tahun tersebut sebesar Rp13.330 per dolar AS).
Sementara berdasarkan data Bank Indonesia (BI), sumbangan devisa dari kegiatan remitansi pekerja migran Indonesia meningkat signifikan, yakni menjadi 9,71 miliar dolar AS pada 2022 atau setara dengan Rp150,1 triliun (kurs Rp15.500 per dolar AS pada 2022).
Jumlah remitansi tersebut naik 6,01 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 9,16 miliar dolar AS atau setara dengan Rp130,53 triliun (kurs Rp14.250 per dolar AS pada tahun berjalan).
Namun, kadang, bekerja di luar negeri dapat menimbulkan risiko. Cerita-cerita penganiayaan pekerja migran Indonesia di luar negeri membentuk opini umum bahwa upaya yang dilakukan untuk melindungi mereka masih sedikit.
Beberapa kasus yang dilaporkan, terutama yang terjadi pada pekerja migran wanita sektor domestik, menyoroti risiko-risiko yang dialami, seperti penganiayaan fisik dan seksual, pemaksaan kerja, dan upah yang tidak dibayarkan.
Salah satu penyebab utama timbulnya risiko tersebut yakni pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) secara ilegal. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) melaporkan sejak tahun 2019 hingga 9 Agustus 2023, terdapat 4,8 juta orang yang terdaftar sebagai PMI. Mayoritas pekerja migran Indonesia berangkat ke Malaysia dan Arab Saudi.
Dengan demikian, jika mengacu pada data Bank Dunia pada tahun 2016, masih terdapat 4,2 juta masyarakat Indonesia yang pernah atau sedang bekerja di luar negeri tetapi tidak tercatat. Terdapat pula kemungkinan PMI yang sudah lama berangkat kerja ke luar negeri namun tidak mengikuti ketentuan dan prosedur resmi.
"Pada akhirnya di antara mereka inilah sebanyak 99 persen PMI yang belakangan ini pulang dalam kondisi bermasalah," kata Sekretaris BP2MI Rinardi saat dihubungi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pemberangkatan pekerja migran pun berpotensi besar berujung pada kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Dalam 3 tahun terakhir, BP2MI menangani sekitar 94 ribu orang pekerja migran Indonesia yang dideportasi dari negara-negara Timur Tengah dan Asia.
Untuk penempatan kerja di Malaysia, Kalimantan Barat (Kalbar) termasuk provinsi yang paling direpotkan karena walaupun PMI tersebut bukan dari Kalbar--karena dideportasi dari Entikong--Pemerintah Provinsi Kalbar yang harus mengurusnya.
Terdapat pula sebanyak 1.935 orang yang meninggal dunia, yang ditandai dua peti jenazah masuk setiap harinya dan 90 persen dari peti jenazah maupun PMI yang dideportasi, merupakan korban penempatan tidak resmi. Selain itu, tercatat korban yang cacat secara fisik, depresi, dan hilang ingatan sebanyak 3.377 orang.
Dari 94 ribu orang pekerja migran Indonesia, sekitar 90 persen di antaranya berangkat secara tidak resmi dan diyakini diberangkatkan oleh sindikat penempatan pekerja migran ilegal.
Tata kelola
Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo menyarankan untuk menekan keberangkatan PMI secara ilegal, utamanya dalam menghindari TPPO, Pemerintah harus memperbarui tata kelola penempatan pekerja migran.
"Selama ini pemberangkatan PMI secara legal dikenai biaya tinggi serta penuh birokrasi, yang menyebabkan PMI menempuh jalur pintas," kata Wahyu.
BP2MI pada akhir tahun lalu mencatat rata-rata biaya penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) mencapai Rp30 juta per orang.
Selain itu dalam menekan keberangkatan pekerja migran ilegal, harus ada peran aktif dari pemerintah di semua level, baik pusat, provinsi, daerah, sehingga tidak saling lempar tanggung jawab.
Sosialisasi pun juga harus dilakukan secara aktif mengenai migrasi yang aman sampai ke tingkat dasar untuk mengimbangi ruang gerak calo maupun sindikat yang bisa bergerak sampai tingkat akar rumput.
Menindaklanjuti keresahan pekerja migran ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal Agustus tahun ini memerintahkan jajaran menteri untuk mengkaji tata kelola penempatan PMI agar para penyumbang devisa negara tersebut mendapatkan perlindungan yang lebih baik.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian diminta untuk mengkaji ulang tata kelola penempatan pekerja migran, mulai dari keberangkatan, penempatan di negara tujuan, hingga saat kepulangan PMI ke Tanah Air.
Kemudian, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan juga diminta mengkaji penegakan hukum dengan menitikberatkan implementasi Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Sementara itu, BP2MI terus berusaha mengajak pemerintah daerah, baik tingkat provinsi, kabupaten, kota, dan desa, sesuai Pasal 40, 41, dan 42 UU 18/2017 yang sudah membagi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah dan pemerintah desa dalam melindungi dan melayani PMI.
Hal tersebut termasuk mengalokasikan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk biaya pelatihan dan pelindungan bagi masyarakat daerah yang bekerja di luar negeri agar memiliki kompetensi pendidikan serta keterampilan yang lebih baik, supaya tidak sekadar menjadi pekerja kasar atau informal.
Di sisi lain, BP2MI juga bekerja sama dengan kantor imigrasi guna memperketat lalu lintas orang ke luar negeri yang tidak memiliki persyaratan dokumen bekerja ke luar negeri, salah satunya dengan mewajibkan semua anggota masyarakat yang keluar negeri memiliki tiket pulang pergi dan bukan tiket bodong.
Imigrasi turut diminta untuk menangguhkan paspor calon PMI yang tertangkap dalam pencegahan minimal 5 tahun, agar yang bersangkutan tidak lagi pergi ke luar negeri, khususnya yang dimobilisasi oleh para calo dan sindikat.
Lapangan pekerjaan
Bank Dunia pada 2016 juga mencatat hampir dua pertiga dari kabupaten pengirim pekerja migran Indonesia merupakan daerah yang relatif lebih miskin, dengan tingkat kemiskinan rata-ratanya lebih tinggi dari pada tingkat kemiskinan nasional.
Tak hanya itu, pekerja migran dari Indonesia tercatat kebanyakan berpendidikan rendah, meskipun secara bertahap mereka menjadi lebih berpendidikan dari sebelumnya.
Oleh karenanya, menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia yang lebih inklusif dan dengan upah yang lebih baik akan memberikan calon pekerja migran peluang yang menarik dan kompetitif di Tanah Air sebagai alternatif yang layak dipertimbangkan selain bekerja di luar negeri.
Calon pekerja migran mungkin tidak akan lagi melihat bermigrasi dan berpisah dengan keluarganya sebagai satu-satunya pilihan, tetapi hanya sebagai salah satu alternatif yang kompetitif, seandainya berbagai kesempatan kerja yang menarik tersedia di dalam negeri.
Kondisi tersebut yang nampaknya memang ingin diwujudkan oleh Pemerintah dan menjadi tujuan jangka panjang pemerintah.
Namun, mengingat terjadinya perlambatan laju penciptaan lapangan pekerjaan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir akibat COVID-19 dan kebutuhan akan reformasi struktural secara mendalam, pencapaian tujuan ini akan memakan waktu yang cukup panjang dan upaya yang besar.