Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan bahwa tujuan pemilihan umum (pemilu) seharusnya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, bukan hanya untuk memilih anggota legislatif dan presiden.
“Tujuan pemilu bukan hanya agar kita memiliki presiden atau anggota legislatif terpilih, namun bagaimana agar presiden dan anggota legislatif dapat bekerja secara efektif untuk mewujudkan keadilan sosial,” ujar Khoirunnisa dalam forum diskusi Indonesian Youth Democracy Forum (IYDF) di Jakarta, Jumat malam (6/10).
Forum diskusi IYDF bertajuk “Protecting Democracy in the 21st Century: The Role of the Youth” ini merupakan penutup dari rangkaian program IYDF yang digelar oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) dan didukung Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dan Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS) Indonesia.
Khoirunnisa mengatakan bahwa pembahasan dalam perumusan berbagai aturan pemilu cenderung fokus pada prosedur pelaksanaannya, bukan pada esensi dan tujuan pelaksanaan pemilu.
“Mereka fokus pada sistem dan komponen pemilu apakah yang dapat memberikan keuntungan politik bagi mereka, apakah sistem proporsional tertutup atau terbuka, dan semacamnya” ucapnya.
Selain itu, ia mengatakan bahwa partai politik harus bersikap transparan dan demokratis dalam menentukan bakal calon presiden, gubernur, bupati, dan walikota yang mereka usung.
“Tapi apa indikatornya? Kita tidak memiliki indikator tersebut (untuk menilai apakah proses itu berlangsung transparan dan demokratis atau tidak),” ucapnya.
Dia menjelaskan jika ditanya apa pertimbangan partai dalam memilih bakal calon tersebut, parpol selalu mengatakan bahwa hal tersebut sudah dibicarakan secara internal.
Terkait partisipasi kaum muda dalam proses politik, Khoirunnisa menyatakan bahwa mengingat biaya politik yang tinggi dan syarat pendirian partai politik yang rumit, hal itu menjadi sulit dilakukan.
“Untuk bisa mendirikan partai politik, kita harus memiliki setidaknya satu kantor cabang di setiap provinsi, tentunya hal ini memerlukan biaya operasional yang tinggi,” katanya.
Selain itu, menurutnya, syarat yang harus dipenuhi untuk mendaftar menjadi peserta pemilu pun sulit dan mahal. Khoirunnisa juga mengatakan bahwa sulit bagi partai baru untuk mendapatkan kursi di parlemen karena adanya ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
“Jadi, sulit bagi kalangan muda untuk berpartisipasi menjadi peserta pemilu,” ujarnya.
Forum diskusi IYDF bertajuk “Protecting Democracy in the 21st Century: The Role of the Youth” ini merupakan penutup dari rangkaian program IYDF yang digelar oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) dan didukung oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dan Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS) Indonesia.
IYDF diikuti oleh 20 pemuda dari seluruh penjuru Indonesia untuk melakukan dialog dengan lembaga dan organisasi masyarakat di seluruh Indonesia untuk merumuskan pernyataan bersama yang berisi rekomendasi mereka untuk membuat pelaksanaan demokrasi di Indonesia menjadi lebih baik.
“Tujuan pemilu bukan hanya agar kita memiliki presiden atau anggota legislatif terpilih, namun bagaimana agar presiden dan anggota legislatif dapat bekerja secara efektif untuk mewujudkan keadilan sosial,” ujar Khoirunnisa dalam forum diskusi Indonesian Youth Democracy Forum (IYDF) di Jakarta, Jumat malam (6/10).
Forum diskusi IYDF bertajuk “Protecting Democracy in the 21st Century: The Role of the Youth” ini merupakan penutup dari rangkaian program IYDF yang digelar oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) dan didukung Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dan Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS) Indonesia.
Khoirunnisa mengatakan bahwa pembahasan dalam perumusan berbagai aturan pemilu cenderung fokus pada prosedur pelaksanaannya, bukan pada esensi dan tujuan pelaksanaan pemilu.
“Mereka fokus pada sistem dan komponen pemilu apakah yang dapat memberikan keuntungan politik bagi mereka, apakah sistem proporsional tertutup atau terbuka, dan semacamnya” ucapnya.
Selain itu, ia mengatakan bahwa partai politik harus bersikap transparan dan demokratis dalam menentukan bakal calon presiden, gubernur, bupati, dan walikota yang mereka usung.
“Tapi apa indikatornya? Kita tidak memiliki indikator tersebut (untuk menilai apakah proses itu berlangsung transparan dan demokratis atau tidak),” ucapnya.
Dia menjelaskan jika ditanya apa pertimbangan partai dalam memilih bakal calon tersebut, parpol selalu mengatakan bahwa hal tersebut sudah dibicarakan secara internal.
Terkait partisipasi kaum muda dalam proses politik, Khoirunnisa menyatakan bahwa mengingat biaya politik yang tinggi dan syarat pendirian partai politik yang rumit, hal itu menjadi sulit dilakukan.
“Untuk bisa mendirikan partai politik, kita harus memiliki setidaknya satu kantor cabang di setiap provinsi, tentunya hal ini memerlukan biaya operasional yang tinggi,” katanya.
Selain itu, menurutnya, syarat yang harus dipenuhi untuk mendaftar menjadi peserta pemilu pun sulit dan mahal. Khoirunnisa juga mengatakan bahwa sulit bagi partai baru untuk mendapatkan kursi di parlemen karena adanya ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
“Jadi, sulit bagi kalangan muda untuk berpartisipasi menjadi peserta pemilu,” ujarnya.
Forum diskusi IYDF bertajuk “Protecting Democracy in the 21st Century: The Role of the Youth” ini merupakan penutup dari rangkaian program IYDF yang digelar oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) dan didukung oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dan Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS) Indonesia.
IYDF diikuti oleh 20 pemuda dari seluruh penjuru Indonesia untuk melakukan dialog dengan lembaga dan organisasi masyarakat di seluruh Indonesia untuk merumuskan pernyataan bersama yang berisi rekomendasi mereka untuk membuat pelaksanaan demokrasi di Indonesia menjadi lebih baik.