Jakarta (ANTARA) - Sejumlah partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), pengusung pasangan presiden dan wapres terpilih Prabowo Subianto – Gibran Rabuming Raka, hari-hari ini mulai membahas secara intensif komposisi menteri pada kabinet untuk pemerintahan mendatang.
Pembahasan secara serius mulai dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengukuhkan pasangan Prabowo dan Gibran sebagai pemenang Pemilihan Presiden 2024.
Prabowo memiliki beban berat untuk memenuhi harapan masyarakat, mengingat kemenangan Prabowo-Gibran dicapai dalam satu putaran, setelah mencapai angka kemenangan 58,6 persen.
Prabowo-Gibran diharapkan mengutamakan kepentingan melalui program-programnya, salah satunya akan tercermin dalam komposisi kabinetnya. Berdasarkan UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara, jumlah kementerian maksimal 34 kementerian.
Bila partai pengusung dan pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran, masing-masing mendapat dua atau tiga kursi menteri, itu akan bermakna unsur partai akan sangat dominan.
Merancang komposisi ideal kabinet memang sulit, namun tetap harus diupayakan. Idealnya, menteri dari kalangan profesional lebih diprioritas, seperti Sri Mulyani (Menkeu), yang selalu menjadi tulang punggung kabinet sejak era Presiden SBY dan Presiden Joko Widodo.
Untuk mengelola sektor ekonomi, pertanian dan pendidikan, lebih baik direkrut dari tokoh profesional.
Seandainya Prabowo ingin memasukkan unsur partai, Prabowo diharapkan memperhatikan komposisi antara tokoh politik dan tokoh profesional secara proporsional.
Kabinet Zaken
Salah satu konsep yang bisa dijalankan dalam menyusun kabinet kelak, adalah menggunakan konsep kabinet zaken (belanda), atau kabinet yang jajaran menterinya direkrut dari kalangan ahli, atau profesional di bidangnya.
Pemilihan menteri dalam kabinet zaken, representasi partai politik tidak menjadi prioritas. Dengan lebih mengedepankan unsur profesional, diharapkan performa menteri yang ditunjuk bisa fokus pada implementasi program, tanpa beban atau target tertentu dari partai pengusulnya.
Konsep kabinet zaken sendiri bukan hal baru dalam sejarah politik di Indonesia. Pertama kali muncul pada tahun awal 1950-an, sebagai respons terhadap ketidakstabilan politik periode sistem parlementer, tatkala proses penyusunan kabinet saat itu tergantung pada koalisi yang melibatkan berbagai partai.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku karya Herbert Feith yang telah menjadi klasik, salah satu contoh kabinet zaken adalah Kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli 1959).
Pembentukan kabinet zaken yang dipimpin Perdana Menteri Djuanda, sebagai cara untuk keluar dari bayang-bayang pertikaian antarparpol pasca-Pemilu 1955.
Masih menurut Herbert Feith, sebelum Kabinet Djuanda, sebenarnya sudah ada Kabinet Wilopo yang bisa juga dianggap sebagai rintisan kabinet zaken, yang berlangsung antara 3 April 1952 sampai 3 Juni 1953.
Satu kenyataan yang menarik, bahwa salah satu menteri dalam Kabinet Wilopo terdapat nama Sumitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Keuangan, seorang ekonom senior dan hebat, yang merupakan ayah dari presiden terpilih Prabowo Subianto.
Dengan kata lain, konsep atau wacana kabinet zaken memiliki relasi historis dengan Prabowo, sehingga tidak terlalu asing.
Kompleksnya persoalan yang dihadapi bangsa ke depan, menuntut adanya talenta terbaik bangsa, yang lepas dari kepentingan partai politik secara spesifik.
Seluruh program kabinet diikhtiarkan untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Ada argumentasi tentang arti penting komposisi kabinet yang besar, guna mewujudkan sejumlah program pemerintahan baru yang juga besar.
Di tengah momentum emas seperti bonus demografi, Indonesia memiliki target besar, yakni menjadi negara dengan kapasitas ekonomi keempat di dunia saat Indonesia Emas 2045.
Pemerintahan baru nanti memiliki beban yang berat untuk mengembalikan kepercayaan publik. Salah satunya dengan menunjukkan kinerja pemerintah yang lebih baik dari era sebelumnya, dan bebas dari kasus KKN.
Pilihan untuk membentuk kabinet zaken merupakan jalan terbaik menghadapi kompleksitas tantangan ke depan.
Prabowo bisa belajar dari rezim sebelumnya, bila unsur partai begitu dominan dalam komposisi kabinet.
Besarnya jumlah menteri yang berasal dari unsur partai, dikhawatirkan berdampak pada kinerja kabinet, yang cenderung menurun, bahwa gerbong partai akan menjadi beban tersendiri bagi pemerintahan baru nanti.
Belajar dari pengalaman pemerintahan sebelumnya, jumlah menteri yang berasal dari unsur partai politik yang terkena kasus korupsi pada era Presiden SBY dan Presiden Joko Widodo terbilang signifikan.
Presiden baru nanti tidak boleh lagi dibebani dengan permasalahan perilaku atau etika para menterinya. Bebas KKN sebagai buah hasil perjuangan era reformasi, harus benar-benar diwujudkan pemerintahan baru nanti.
Periode transisi
Periode transisi menuju pemerintahan baru, kiranya bisa berjalan mulus. Salah satunya melalui pemaparan visi-misi kementerian di dalam kabinet mendatang, penting dilakukan mengingat program Prabowo-Gibran dalam lima tahun mendatang terbilang besar.
Dari 320 program yang ada, 17 di antaranya merupakan program prioritas, seperti ketahanan pangan, transisi energi, dan pendidikan (utamanya bagi siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu).
Oleh karena itu, dibutuhkan kabinet yang tidak hanya kapabel, tetapi juga memiliki akuntabilitas dan respons yang kuat.
China misalnya, bisa sukses karena mempunyai prakondisi yang kuat dan memiliki respons pemerintah yang juga kuat.
Begitu pula India, negara ini sebenarnya juga memiliki prakondisi kuat, tetapi tidak memiliki respons pemerintah yang kuat pada akhirnya kehilangan peluang tersebut.
Selanjutnya ada tantangan ekonomi politik domestik, terdapat tiga faktor yang saling berkelindan, yakni tekanan internasional, kepentingan elite, dan keterlibatan masyarakat.
Aspek keterlibatan masyarakat, indikator demokrasi mempunyai pengaruh yang kuat pada perkembangan dan pertumbuhan ekonomi.
Untuk menyusun arah kebijakan pemerintahan, harus melihat apa yang akan terjadi di depan.
Sekadar catatan, pada 2025 masih ada stagnasi ekonomi global 3,1—3,2 persen.
Pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju mitra dagang Indonesia juga belum tumbuh signifikan, salah satunya Amerika Serikat mengalami penurunan fiskal.
Termasuk, eskalasi konflik di Timur Tengah masih terus dipantau, terkait pengaruhnya pada situasi ekonomi global.
Perlu juga menjadi catatan kepada pemerintahan baru, bahwa di bidang green opportunities dan hilirisasi industri, intensitas negara-negara maju untuk mengintervensi sektor industrinya makin kuat, terutama bagi mineral dan produk-produk turunannya.
Hilirisasi Indonesia di sektor mineral akan makin mendapat resistensi dan persaingan makin kuat dari negara-negara maju.
Dengan kata lain, siapa pun yang akan jadi menteri akan menghadapi dilema, jika tidak bisa mendinamisasi situasi ekonomi di tengah suku bunga global yang masih relatif tinggi (The Fed). Itu akan berpengaruh besar pada suku bunga dalam negeri dan nilai tukar.
Kendati demikian, beberapa tren komoditas domestik agak membaik seperti batu bara yang mengalami kenaikan harga. Begitu pula minyak sawit dan minyak mentah.
Namun harga nikel, sebagai komoditas andalan, justru menunjukkan tren harga menurun. Situasi itu adalah tantangan bagi sosok menteri ekonomi atau menteri keuangan kelak.
Sesuai dengan target pertumbuhan ekonomi presiden terpilih, bahwa target pertumbuhan 2025 sekitar 6—7 persen.
Sementara lembaga dunia (seperti IMF dan World Bank) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 berada pada kisaran 5,2 persen.
Tantangan bagi kabinet pemerintahan baru nanti, khususnya menteri-menteri ekonomi, adalah bagaimana menaikkan kinerja pertumbuhan ekonomi agar melebihi target pertumbuhan yang telah diprediksi oleh lembaga-lembaga dunia.
Semua tetap optimistis menanti pengumuman komposisi kabinet pemerintahan baru nanti, bakal diisi figur kompeten dan berintegritas.
Dengan kolaborasi seluruh elemen bangsa, kabinet nanti memiliki tugas berat untuk mewujudkan kesejahteraan menjelang Indonesia Emas (2045).
*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.