Jakarta (ANTARA) - Pekerjaan konstruksi yang melibatkan pemberi kerja (pemerintah, BUMN, atau BUMD), tenaga konsultan, dan pelaksana konstruksi (kontraktor) rawan untuk memunculkan kasus hukum, jika mengabaikan meski rambu untuk meminimalkan peluang terjadinya suap dan korupsi yang terus diperketat.
Satuan Tugas I Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI mencatat kasus korupsi yang melibatkan sektor swasta dibandingkan pejabat pemerintah karena oknum pejabat pemerintah yang terlibat biasanya hanya satu orang, sedangkan pelaku dari swasta biasanya melibatkan lebih dari satu orang. Berdasarkan statistik tindak pidana korupsi (TPK) tertinggi merupakan penyuapan (989 kasus).
Karena itu, KPK, dalam upaya mengatasi korupsi di Indonesia mengedepankan upaya edukasi kepada masyarakat, terutama dari generasi muda, sebagai langkah menanamkan nilai-nilai integritas dan budaya antikorupsi.
Langkah berikutnya adalah pencegahan, dengan cara membangun sistem yang dapat mencegah korupsi. Terakhir adalah penindakan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan menjadi peringatan kepada lainnya agar tidak mencoba-coba melakukan korupsi.
Terkait hal itu untuk mencegah terjadinya TPK, KPK meminta perusahaan penyedia konstruksi, termasuk konsultan, agar memiliki sistem manajemen anti-penyuapan ISO 37001: 2016, satu mekanisme yang dirancang untuk dapat mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko penyuapan, termasuk mencegah, mendeteksi, dan merespons kasus penyuapan.
Kemudian bagi kontraktor atau konsultan menengah kecil, KPK menyarankan agar mengadopsi panduan cegah korupsi (CEK) yang tidak berbayar (gratis). Panduan ini, meski tak bersertifikat, sudah mengadopsi aturan hukum yang berlaku di Indonesia, bersifat pemeriksaan sendiri (self assesment), serta dilengkapi daftar cek untuk mengukur penerapan standar korupsi di lingkungan organisasi.
Potensi jasa konsultan
Sementara Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) menegaskan bahwa penerapan SMAP dan CEK menjadi suatu keharusan agar dapat mengoptimalkan penyerapan anggaran yang pada akhirnya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan pengadaan barang dan jasa pemerintah tahun 2023 yang nilainya mencapai Rp1.226,2 triliun, yang bisa terealisasi Rp644,9 triliun. Dari jumlah tersebut hampir 50 persen merupakan belanja konstruksi. Artinya potensi belanja konstruksi, baik bagi kontraktor maupun konsultan, sangat besar.
Pusat Pelatihan SDM Pengadaan Barang/Jasa LKPP mengatakan berdasarkan kue konstruksi di tahun 2023 tersebut seharusnya peluang juga sangat besar agar bisa dinikmati pelaku usaha, termasuk yang skala kecil.
Terkait hal itu LKPP sedang menghimpun permasalahan yang ada di lapangan agar bisa memberikan masukan kepada pelaku di bidang jasa konsultan agar bisa menikmati belanja konstruksi ke depan.
Dari permasalahan yang terjadi masih ditemukan belanja konstruksi tersebut belum merata yang terlihat banyak konsultan lokal yang belum menikmati. Hal ini bisa terjadi karena tenaga ahli yang belum merata, bahkan di beberapa tempat tenaga ahli dipakai untuk dua proyek sekaligus di tahun yang sama, padahal itu melanggar aturan.
Persoalan lain terkait sanksi. Saat ini tengah dikaji agar pelaku jasa konsultan yang melanggar tidak langsung dimasukkan ke dalam daftar hitam.
Sanksi yang diterapkan sebaiknya bersifat berjenjang untuk memberikan pembelajaran kepada pelaku. Dengan memasukkan ke dalam daftar hitam, artinya akan mematikan perusahaan konsultan tersebut karena tidak bisa mengikuti tender dimana-mana.
Terkait hal itu LKPP tengah menghimpun pelaku di bidang konstruksi untuk mengetahui persoalan di lapangan terkait pengadaan barang dan jasa, sehingga belanja konstruksi yang demikian besar bisa dirasakan seluruh masyarakat, termasuk pelaku konstruksi dari perusahaan kecil.
Jangan tergesa
Terkait dengan temuan di lapangan pada pekerjaan konstruksi, Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) meminta kepada penyedia kerja dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar jangan tergesa-gesa menjadikannya sebagai kasus hukum.
Kalau ada pelaku jasa konsultan yang sudah mematuhi aturan main yang sudah ditetapkan, tetapi ada kesalahan atau temuan yang sifatnya minor, tidak lantas menjadi ranah hukum.
Beberapa kasus konsultan itu dipanggil kembali ke daerah yang butuh waktu untuk menuju ke lokasi, sedangkan untuk menuju ke lokasi tersebut membutuhkan biaya tidak kecil yang tidak sebanding dengan dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Apalagi, pekerjaan itu terkadang sudah selesai dua tahun lalu.
Pertimbangan-pertimbangan seperti ini seharusnya dipakai pihak yang berwenang, sebelum melakukan pemeriksaan.
Salah satu yang kerap menjadi masalah di kemudian hari terkait kontrak lumsum (dibayar sekaligus). Terkadang persoalan muncul mengenai bukti transaksi ada yang menyebut benar atau tidak benar. Konsultan, kalau menemukan hal itu harus datang untuk melakukan klarifikasi, padahal pekerjaannya sudah selesai dalam waktu yang lama.
Akibat dari kejadian seperti itu banyak konsultan yang mengundurkan diri atau memutuskan untuk tidak lagi menjadi konsultan karena adanya persoalan-persoalan di lapangan.
Terkait persoalan itu, memang organisasi memberikan pendampingan atau apabila sudah di pengadilan, menjadi saksi ahli. Hanya saja, beberapa konsultan yang terkena kasus hukum lebih memilih menyelesaikan sendiri serta tidak melibatkan organisasi karena pertimbangan tertentu.
Hal ini yang membuat kasus hukum di jasa konsultan tidak terlalu kelihatan karena banyak dari konsultan yang memilih menyelesaikan kasusnya sendiri. Meski tidak kasat mata, tetapi bisa dirasakan dari jumlah konsultan yang mundur atau tidak lagi aktif.
Meski sudah banyak badan usaha konsultan mengadopsi SMAP maupun CEK, seperti digariskan KPK, namun masih saja ada yang tersangkut kasus-kasus suap karena biasanya di dalam pelaksanaan ikut terlibat.
Sebagai contoh seorang konsultan pengawas melaporkan pekerjaan sudah rampung 70 persen dengan tujuan anggaran bisa segera dicairkan sebagian. Kenyataan pekerjaan di lapangan belum sampai sejauh itu, akhirnya yang bersangkutan terjerat kasus hukum. Padahal konsultan sebelumnya sudah dibekali dan paham mengenai SMAP.
Memang kalau tidak ketahuan atau pekerjaan berjalan mulus, maka konsultan tersebut tidak akan kena masalah, tetapi kalau terjadi sesuatu terhadap pekerjaan (tidak mulus) atau terlambat, maka bisa menjadi temuan dan konsultan itu pasti akan kena masalah.
Terkait dengan kasus hukum yang dialami konsultan, INKINDO secara berkala senantiasa menyelenggarakan diskusi terkait kebijakan pengadaan barang dan jasa, termasuk nasihat tahapan-tahapan yang harus dilalui serta aturan dan regulasi terkini.
Seharusnya konsultan tidak akan menemui masalah kalau mengikuti aturan main yang sudah ditetapkan pemberi kerja. Bahkan, kalau perlu INKINDO memberikan panduan untuk mendapatkan pekerjaan agar badan usaha konsultan tidak terjebak kasus hukum.
Terkait hal itu, INKINDO Bidang Hukum dan Perlindungan Anggota telah membentuk Badan Advokasi dan Mediasi untuk membantu anggota yang terlibat dalam kasus hukum.
Badan Advokasi dan Mediasi ini bertugas sampai ke daerah-daerah karena persoalan memang banyak di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Biasanya karena adanya dinamika pemerintahan yang membuat kepala daerah tersangkut masalah, akhirnya pelaku konstruksi jadi ikut terbawa-bawa.
Terkait hal itu juga sudah ditetapkan daerah-daerah tertentu, seperti DKI Jakarta sebagai barometer atau kiblat keterlibatan konsultan mengikuti tahapan pengadaan barang dan jasa sesuai aturan main.
Para pelaku jasa konsultan di daerah tinggal mengikuti aturan main daerah-daerah yang menjadi barometer, namun kalau mengikuti aturan di luar itu artinya mereka siap untuk bertanggung jawab secara pribadi karena sebelumnya sudah diingatkan.