Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek memberikan penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2024 untuk kategori Maestro Tradisi kepada Temu Misti (gandrung Banyuwangi), Tatang Setiadi (seni tradisi Sunda), Rusini (seni tari), Kartolo (ludruk), dan Baiya (pedendang nyanyian panjang).
Dalam rilis yang disiarkan oleh pihaknya di Jakarta pada Jumat dijelaskan, pemberian penghargaan AKI menjadi wujud apresiasi pemerintah kepada para pelaku budaya di Indonesia yang telah berdedikasi dalam upaya pemajuan kebudayaan.
Adapun Temu Misti menggeluti gandrung sejak tahun 1968, dengan ciri khas vokal yang lantang, timbre padat, serta penghayatan total. Hal tersebut membuat Temu semakin populer sebagai penari gandrung profesional. Dalam sebulan, Temu dapat menerima undangan hingga 21 hari atau selama setahun hingga sebelas bulan, kecuali di bulan Suro.
“Bagi saya, gandrung itu ibarat cinta. Saya tidak pernah bosan dan mengeluh menjadi seniman gandrung karena saya sangat mencintai bidang ini. Saya ingin menularkan kecintaan ini kepada
generasi muda,” ujar Temu.
Temu juga memiliki Sanggar Tari Sopo Ngiro yang mewariskan gandrung kepada generasi muda sekaligus ikut melestarikannya. Di sana, Temu melatih generasi muda agar mengenal dan mendalami seni gandrung.
Lain halnya dengan Tatang Setiadi yang merupakan sosok berdedikasi tinggi dalam pelestarian seni tradisi Sunda. Terhitung sejak tahun 1980, Tatang sudah banyak membina dan melahirkan seniman hebat di Cianjur, Jawa Barat.
Hasil kerja budaya Tatang terlihat dengan adanya pembaharuan dalam tari Sunda serta seni ritual dengan melakukan terapi penyadaran terhadap lingkungan dan rekognisi pada sumber daya pengetahuan lokal.
Ia juga menjadi pencetus ritual “Nyeka banda” Gunung Padang, yaitu sebuah tradisi membasuh benda pusaka dan anugerah yang sudah menjadi agenda tahunan Dinas Pariwisata Cianjur .
“Mudah saja dalam melestarikan nilai-nilai budaya. Perlu ditanamkan dalam hati kalau bukan kita, siapa lagi yang mau melakukan pengembangan kebudayaan,” kata Tatang.
Adapun Rusini mendapatkan gelar empu seni tari klasik asal Surakarta, Jawa Tengah yang dikenal atas kepiawaiannya sebagai penari alusan, pencipta sekaligus pendidik seni tari gaya Mangkunegaran.
Rusini telah melakoni seni tari tersebut sejak tahun 1961, bahkan membawa karya seni tari tradisi Indonesia hingga ke kancah internasional. Menyoal jenjang akademik, Rusini juga bergelar Magister dan menjadi pengajar Tari Bedoyo di kampus ASKI Surakarta, yang sekarang berubah nama menjadi Institut Seni Indonesia (ISI).
Tahun 1977 menjadi momentum perdana Rusini menggondol penghargaan sebagai penari Jawa golongan putri dari Gubernur Jawa Tengah pada masa itu.
Penerima penghargaan kategori Maestro lainnya ialah Kartolo yang seorang pelakon sekaligus pelopor guyonan atau kidungan ludruk. Potret kehidupan masyarakat kecil dengan mengandung muatan kritik sosial serta pesan moral menjadi ciri khas dari kidungan ludruk yang dipopulerkan Kartolo.
Selama karirnya, ia telah melahirkan sebanyak 65 karya rekaman lagu ludruk. Kartolo membawa warna baru dalam menampilkan seni kidungan ludruk dengan menjadikannya sebagai ruang kritik sosial dan ruang imajinasi.
“Cita-cita saya ingin generasi muda, khususnya di Jawa Timur, dapat terpicu untuk mencintai dan melestarikan kesenian asli tradisional daerahnya sendiri. Jangan sampai generasi muda Jawa Timur tidak mengetahui tentang kesenian ludruk,” ujar Kartolo.
Terakhir, Mak Itam atau Baiya merupakan pedendang nyanyian panjang asal Riau, bahkan menjadi simbol seni tradisi suara rakyat tersebut.
Baiya hafal syair-syair nyanyian panjang yang menjadi jalan cerita budaya dan nilai pengetahuan yang hidup di tengah masyarakat Riau. Atas dedikasinya sebagai pedendang nyanyian panjang, Baiya banyak meraih penghargaan. Beberapa penghargaan tersebut antara lain, yaitu Anugerah Budaya untuk Tokoh dan Pelaku Seni Budaya Sebagai Pemangku Setia Seni Sastra yang diberikan Dinas Kebudayaan Provinsi Riau tahun 2016.