Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan bahwa kebijakan penghapusbukuan dan penghapustagihan utang petani dan nelayan bertujuan untuk membantu agar masyarakat bisa kembali menerima kredit atau pinjaman.
Ia mengatakan bahwa masyarakat yang mengalami permasalahan pembayaran piutang atau kredit macet tercatat dalam database Kementerian Keuangan, sehingga mereka tidak dapat mengajukan pinjaman kembali maupun menikmati fasilitas perbankan lainnya.
“Nah, oleh karena itu ini, semacam ‘moratorium’ kepada mereka yang pernah bermasalah, sehingga dengan penghapusbukuan dan penghapustagihan ini diharapkan kredit untuk masyarakat bisa bergulir kembali,” ucap Airlangga Hartarto di Jakarta, Minggu.
Airlangga mengatakan bahwa kebijakan tersebut diimplementasikan terbatas kepada bank-bank BUMN atau Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) karena jumlah piutang yang tercatat dari kedua kelompok tersebut sudah terlampau besar.
Selain itu, bank-bank tersebut tidak bisa melakukan penghapusbukuan, meski bisa melakukan penghapustagihan, berbeda dengan bank-bank swasta.
“Jadi, (kebijakan) ini murni untuk mendukung Himbara karena jumlahnya (terkait utang kredit petani dan nelayan tersebut) sudah cukup besar. Mereka bisa hapus buku tapi tidak bisa hapus tagih,” katanya.
Airlangga menyampaikan bahwa kini pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait kebijakan penghapusbukuan dan penghapustagihan utang tersebut.
“(RPP) ini dalam proses. Jadi, mudah-mudahan dalam waktu tidak terlalu lama ini bisa diselesaikan,” ujarnya.
Presiden Prabowo Subianto berencana melakukan pemutihan atau penghapusan utang para petani yang masuk dalam skema Kredit Usaha Tani (KUT) pada 1998.
Sebelumnya, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi menyatakan bahwa utang tersebut sudah terlampau lama, yakni selama 26 tahun, dan dinilai memberatkan masyarakat karena bisa menghalangi mereka untuk mendapatkan kredit dari perbankan.
Ia mengungkapkan bahwa total nominal utang yang akan diputihkan sebesar Rp8,3 triliun untuk 6 juta petani di Indonesia, atau sekitar Rp1,3 juta per orang.