Jakarta (ANTARA) - Belajar di pesantren bukanlah sekadar menempuh ilmu dalam institusi pendidikan, tetapi panggilan jiwa spiritual untuk dapat menghadapi tantangan kerusakan moral di tengah gempuran modernita.
Pesantren adalah ruang sakral pembelajaran dalam format inklusif, untuk mendalami ilmu agama, dan memupuk mimpi menjadi manusia yang lebih utuh. Sebab pesantren adalah benteng moral bangsa, tempat lahirnya tokoh-tokoh besar, seperti KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), hingga KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).
Belajar melalui pesantren bukan hanya soal mengejar ilmu, tetapi juga adab, nilai yang kini kian terkikis di tengah hiruk-pikuk urban.
Kesalahan pandang
Hari ini kita disuguhi tema tentang pesantren yang memicu polemik di ruang publik. Tagar #Boikot Trans7 di platform X, melalui episode Xpose Uncensored di Trans7 mengundang berbagai pandangan. Bagaimana seharusnya media merumuskan agenda setting-nya, sehingga melahirkan karya jurnalistik yang mengedukasi, bukan justru menjurus pada pelecehan budaya.
Media, termasuk stasiun televisi, tidak seharusnya mengumbar narasi sensasionalitas, mengejar rating, tetapi mengorbankan kehormatan sebuah tradisi yang telah berabad-abad menjadi pilar budaya bangsa.
Filsuf komunikasi Jürgen Habermas pernah memperingatkan bahwa media yang kehilangan etika publik hanya akan menghasilkan “distorsi komunikatif.” Alih-alih mencerahkan, media semacam ini justru merusak ruang publik, memicu polarisasi, dan mengkhianati tanggung jawabnya sebagai pilar demokrasi.
Nyawa media
Sebagaimana makna yang ditegaskan dalam Undang-Undang Pers Nomor 4 tahun 1999, sensasionalisme bukanlah kebebasan pers, tetapi pengkhianatan terhadap nilai-nilai jurnalisme itu sendiri. Maka, media harus memahami prinsip fundamental dalam menjalankan fungsinya sebagai alat penyebarluasan konten pendidikan yang mencerahkan publik.
Di Indonesia, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan tegas melarang konten yang menghina nilai budaya dan agama. Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pasal 4, juga menegaskan tanggung jawab media untuk menghormati keberagaman budaya dan agama.
Kedua regulasi itu seharusnya dipahami sebagai “nyawa bagi media” yang harus terus dirawat. Kejahatan narasi seringkali terjadi bukan hanya pada kontennya, tetapi juga pada kegagalan untuk berpikir kritis tentang dampaknya. Seperti yang pernah dikatakan filsuf Hannah Arendt, bahwa kejahatan sering kali terjadi bukan karena niat jahat, tetapi karena absennya refleksi kritis.
Kebebasan beradab.
Apalah makna kebebasan berekspresi jika hanya digunakan untuk merendahkan? Media, sebagai pilar keempat demokrasi, memiliki tanggung jawab untuk membangun, bukan menghancurkan.
Pesantren, dengan segala kekurangannya, telah terbukti sebagai institusi yang mampu bertahan di tengah gempuran zaman. Ia mengajarkan adab, kesederhanaan, dan keteguhan hati, nilai-nilai yang kini justru dibutuhkan di era digital yang penuh hiruk-pikuk ini.
Dari kegagalan ini, kita dapat belajar bahwa media, seperti manusia, harus terus-menerus belajar untuk menjadi lebih baik. Karena pada akhirnya, seperti yang pernah dikatakan oleh filusuf Jawa, Ronggowarsito, “sing sapa salah, bakal seleh”, siapa yang salah, akan terbukti kalah. Dan kekalahan stasiun televisi akibat kasus pemberitaan mengenai pesantren ini bukanlah pada boikot, tetapi pada kehilangan kepercayaan publik, sesuatu yang jauh lebih mahal dari sekadar rating.
*) Dr. Eko Wahyuanto, Dosen Sekolah Tinggi Multimedia ST-MMTC Yogyakarta
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Media, pesantren, dan luka kebudayaan
