Jakarta (ANTARA) - Badan Narkotika Nasional (BNN) RI mengungkapkan Indonesia menegaskan perlunya respons nasional yang lebih adaptif terhadap ancaman narkotika sintetis pada sidang pengumpulan kembali sesi ke-68 Komisi PBB untuk Narkotika (CND) di Wina, Austria, Jumat (5/12).
Kepala BNN RI Komisaris Jenderal Polisi Suyudi Ario Seto mengatakan sintetis dimaksud khususnya nitazenes dan prekursor desainer yang berkembang sangat cepat di berbagai kawasan dunia.
"Indonesia akan terus berperan aktif dalam forum internasional untuk memastikan setiap kebijakan global berbasis ilmiah, berimbang, dan memperhitungkan kepentingan keamanan kesehatan publik," kata Suyudi, seperti dikutip dari keterangan yang dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Dalam menghadapi ancaman narkotika sintetis, dia mengatakan Indonesia memerlukan penguatan kapasitas laboratorium, sistem deteksi dini, dan standar toksikologi yang memadai guna mengantisipasi masuknya narkotika jenis baru serta mendukung model class-based scheduling atau penjadwalan berbasis kelas bagi zat sintetis berisiko tinggi.
Pada kesempatan itu, BNN RI mendapatkan apresiasi atas posisi yang tegas, konsisten, dan konstruktif dalam mendukung rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta komitmen pada peningkatan kapasitas laboratorium nasional.
Adapun sidang membahas perkembangan implementasi tiga Konvensi Internasional Pengendalian Narkotika, tren global narkotika sintetis, rekomendasi teknis WHO, serta dinamika geopolitik yang mempengaruhi arah kebijakan narkotika internasional.
Dalam agenda pembahasan implementasi konvensi, Badan PBB untuk urusan narkoba dan kejahatan (UNODC) memaparkan lonjakan signifikan jumlah narkotika jenis baru alias New Psychoactive Substances (NPS) secara global dari 254 jenis menjadi lebih dari 1.400 jenis dalam satu dekade terakhir, termasuk 168 opioid sintetis yang telah terdeteksi.
Tren tersebut selaras dengan meningkatnya peredaran prekusor desainer dan kelompok zat sintetis baru, seperti nitazenes, yang kini menjadi perhatian utama negara-negara anggota.
Dalam laporan yang dipresentasikan, WHO, melalui Komite Ahli tentang Ketergantungan Narkoba (ECDD) merekomendasikan dua jenis nitazenes untuk dimasukkan ke Schedule I Konvensi 1961 serta MDMB-Fubinaca ke Schedule II Konvensi 1971.
Sementara itu, perdebatan juga mengemuka terkait status daun koka, dengan rekomendasi WHO agar tetap berada di Schedule I, posisi yang didukung Indonesia.
Sidang juga membahas perkembangan implementasi Resolusi 68/6 mengenai pembentukan Panel Ahli Independen beranggotakan 19 pakar internasional. Hingga sesi tersebut, 15 kandidat ahli telah mendapatkan persetujuan, sementara beberapa kelompok regional masih berproses untuk mencapai konsensus.
Panel dinilai akan berperan penting dalam menyusun analisis ilmiah yang menentukan arah kebijakan global terkait narkotika dan prekursor.
Dinamika geopolitik turut mempengaruhi jalannya persidangan, mulai dari perdebatan mengenai operasi antinarkotika, keberatan negara terhadap kandidat panel dari kawasan tertentu, hingga sorotan negara-negara Asia dan Afrika terkait penanganan opioid sintetis.
