London (ANTARA Kalbar) - Amnesty International minta Indonesia membatalkan tuduhan penodaan agama atas pemimpin Syiah dan percaya tuduhan tersebut hanya berdasarkan pada aktivitas damainya menggunakan hak kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.
Pihak berwenang Indonesia harus membatalkan tuduhan terhadap Tajul Muluk, pemimpin keagamaan Muslim Syiah dari Jawa Timur, demikian keterangan pers Amnesty Internasional yang diterima ANTARA London, Kamis.
Tajul Muluk mengungsi dengan lebih dari 300 warga Syiah lainnya pada 29 December 2011, ketika sekitar 500 massa anti-Syiah menyerang dan membakar rumah, pesantren dan rumah ibadah Syiah di Desa Nangkrenang, Sampang, Pulau Madura.
Walaupun Kepolisian Sektor (Polsek) Omben telah mengetahui akan adanya penyerangan sebelumnya, mereka tidak mengambil langkah yang memadai untuk mencegahnya atau melindungi warga desa.
Akibat serangan tersebut banyak dari warga Syiah mengungsi dari Desa Nangkrenang.
Namun Tajul Muluk dan 20 warga desa lainnya, termasuk keluarganya, dihalangi untuk kembali ke desanya oleh penyerang, dilaporkan mengancam membunuh bila mereka kembali, serta dicegah kembali pulang oleh pihak kepolisian.
Majelis Ulama Indonesia cabang Sampang mengeluarkan fatwa mengenai "ajaran sesat" Tajul Muluk, dan dua hari kemudian dilaporkan adanya pengaduan ke polisi atasnya.
Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur menuduh Tajul Muluk dengan penodaan agama berdasarkan Pasal 156(a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan dengan tuduhan "perbuatan tidak menyenangkan" berdasarkan Pasal 335 KUHP, pada 16 Maret lalu.
Saat ini ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Sampang menunggu pengadilan dan pengacaranya khawatir ia tidak akan menerima pengadilan yang adil di Sampang karena kuatnya kehadiran kelompok-kelompok anti-Syiah .
Mereka meminta pengadilannya dipindahkan ke ibukota provinsi Jawa Timur, Surabaya.
Mengajukan tuduhan terhadap Tajul Muluk karena kepercayaan agamanya dan menjalankan agamanya bertentangan dengan kewajiban Indonesia berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights -ICCPR).
Pasal 18 dari ICCPR melindungi hak individu atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, termasuk hak menjalankan agama atau kepercayaannya dalam beribadah, mempraktikkan agama dan mengajar ajaran mereka.
Pasal 27 dari ICCPR menyatakan orang yang termasuk dalam kelompok agama minoritas tidak boleh diingkari hak-haknya, bersama dengan anggota kelompok lainnya, beribadah dan mempraktikkan agama mereka.
Hak kebebasan beragam juga dijamin dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia dan Pasal 22 Undang-Undang (UU) 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Amnesty International menerima laporan yang dapat dipercaya sejak penyerangan, warga Syiah di Sampang terus menghadapi intimidasi dan ancaman yang berusaha memaksa mereka mengganti kepercayaan.
Kepolisian Indonesia harus memastikan komunitas Syiah menerima perlindungan yang memadai dan melakukan penyidikan yang cepat, independen, imparsial dan efektif atas semua laporan kekerasan dan ancaman.
Berdasarkan ICCPR, Indonesia harus memastikan hak hidup, keamanan seseorang dan kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya.
Perlindungan semacam itu harus disediakan tanpa diskriminasi, termasuk dari yang berdasarkan agama.
Amnesty International mendesak pihak berwenang Indonesia untuk mencabut UU Nomor tentang pencegahan penyalahgunaan agama dan/atau penodaan agama, dan Pasal 156(a) KUHP yang dibuat berdasarkan Peraturan Presiden.
Pasal 156(a) menyandang hukuman maksimal lima tahun penjara bagi "barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia".
Ketentuan dengan penyusunan kata-kata yang tidak jelas itu membuat pihak berwenang bisa mengkriminalkan aktivitas damai, termasuk praktik keagamaan.
Peraturan penodaan agama pada dasarnya tidak sesuai dengan kewajiban internasional HAM Indonesia untuk melindungi dan menghormati kebebasan berekspresi, dan kebebasan berpikir, berkeyakinan, beragama dan kesetaraan.
Hukum tersebut terus digunakan untuk memenjarakan orang selama lima tahun, hanya karena menjalankan hak atas kebebasan berekspresi atau kebebasan beragama.
Peraturan tersebut sering kali digunakan untuk menargetkan individu yang tergabung dalam kelompok minoritas keagamaan, kepercayaan dan pendapat, khususnya mereka yang mengikuti interpretasi Islam yang tidak disetujui pemerintah. (ZG)