Surabaya (ANTARA Kalbar) - Semoga memori bangsa ini masih sehat untuk diajak menengok tragedi 67 tahun atau tepatnya dalam peristiwa bersejarah 10 November 1945, demikian yang dikatakan penulis buku "Resolusi Jihad NU" Gugun El Guyanie.
Gugun melaksanakan acara bedah buku yang digelar Ansor Surabaya di Royal Plasa Surabaya, beberapa hari lalu.
Menurut Gugun, Bangsa ini sedang mengalami fase menjadi bangsa yang melodramatik, mudah melupakan jasa-jasa dan amal sholeh para pendiri bangsa, muda melupakan kejahatan koruptor perampok negara, mudah lupa terkesima dengan politik pencitraan pemburu kekuasaan sesaat.
Oleh karena itu, Gugun mengatakan perlu kiranya kita semua mengambil filosofi dari peringatan Hari Pahlawan 10 November 1945. "Kita tidak kuasa merasakan kegelisahan para pendiri bangsa yang baru dua bulan memproklamasikan kemerdekaan harus menghadapi kembalinya pasukan sekutu yang diboncengi NICA yang hendak kembali berkuasa," katanya.
Pada September 1945, Belanda mendarat di Surabaya dengan kapal Inggris Cumberland dan 10 Oktober 1945, Belanda dan sekutunya telah menduduki Medan, Padang, Palembang dan Bandung.
"Bagaimana mungkin Negara yang baru saja memproklamasikan kemerdekaanya, belum memiliki kelengkapan negara termasuk tentara Nasional, tiba-tiba harus menghadapi perang?. Yang ada dibenak para pemimpin Nasional saat itu adalah mencari dukungan pengakuan kedaulatan dari Negara lain, bukan membentuk tentara Nasional," ujar Pengurus LPBH PWNU DI Yogyakarta ini.
Tentara Nasional baru ditetapkan dalam sidang PPKI yang ketiga pada 22 Agustus 1945 dalam bentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Dari pertimbangan itu, lanjut dia, tindakan yang paling logis adalah membangkitkan perjuangan rakyat sipil yang sedang meluap semangatnya untuk mempertahankan Republik ini.
Maka Presiden RI Soekarno mengirim utusan untuk meminta fatwa kepada Rais Akbar Nahdatul Ulama (NU) dan sekaligus pengasuh Ponpes Tebu Ireng Jombang K.H. Hasyim Asyari.
"Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada K.H. Hasyim Asyari, apakah hukumannya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam atau membela Al-Qur'an?," katanya.
Untuk menjawab pertanyaan Soekarno itu, Hasyim Asyari memerintah K.H. Wahab Chasbullah untuk menggelar rapat Konsul NU se-Jawa dan Madura untuk berkumpul di kantor PB Ansor NU di Jalan Bubutan Surabaya pada 23 Oktober 1945.
"Hasyim Asyari dalam pertemuan itu akhirnya mendeklarasikan 'Jihad Fisabilillah' yang dikenal dengan 'Resolusi Jihad'," katanya.
Resolusi Jihad ini berisi lima butir yakni pertama Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 yang wajib dipertahankan, kedua Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah yang sah wajib dibela dan diselematkan.
Ketiga, musuh-musuh Republik Indonesia, khususnya Belanda yang datang lagi membonceng tugas-tugas tentara sekutu (Amerika-Inggris) dalam hal tawanan perang bangsa Jepang tentu akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.
Keempat, Umat Islam terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia dan terakhir kewajiban tersebut adalah "jihad" yang menjadi kewajiban bagi umat Muslim.
"Seruan tersebut akhirnya membangkitkan semangat para santri dan Arek-arek Suroboyo yang berpuncak pada 10 November 1945 yang menjadikan Surabaya banjir darah para pahlawan," katanya.
Staf Peneliti Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Fakultas Hukum UGM ini mengatakan sebuah pembuktian yang tidak banyak direkam dalam catatan sejarah bangsa, bahwa perjuangan rakyat, perjuangan NU untuk membela kemerdekaan Indonesia.
"Melalui Resolusi Jihad ini, NU bersama-sama seluruh elemen rakyat bercita-cita membangun Negeri menjadi negara demokratis-konstitusional," katanya.
Gugun menekankan spirit Resolusi Jihad hendaknya hadir kembali di tengah rapuhnya kedaulatan bangsa dalam menghadapi intervensi kepentingan asing. Bahkan kolonialisasi gaya baru (neokolonialisme) diberikan pintu lebar secara legal-konstitusional melalui intervensi terhadap proses pembuatan sejumlah undang-undang (UU).
"Anehnya lembaga-lembaga internasional itu menggunakan isu-isu mulia, semacam isu kesehatan, pemberdayaan masyarakat, efisiensi pengelolaan anggaran untuk libido hegemoniknya," katanya.
Artinya, lanjut dia, ada sejumlah produk legislasi yang itu bermuatan kepentingan asing dan disisi lain sangat menindas kepentingan rakyat sendiri.
"Sebut saja misalnya UU Migas, UU Investasi, UU Perbankan, UU Perkebunan dan UU lainnya yang mencerminkan ketidakberpihakan pemimpin Negeri ini dalam melindungi hak-hak rakyatnya sendiri untuk hidup merdeka di bumi tercinta," katanya.
Perjuangan K.H. Hasyim Asyari akan tidak ada gunanya jika warisan Resolusi Jihad digadaikan demikepentingan segelintir elit kekuasaan. Maka layak NU mempertimbangkan lahirnya Resolusi Jihad jilid dua untuk berjihad mengusir aktor-aktor asing yang berjubah malaikat tetapi sejatinya adalah setan-setan yang membunuh ratusan juta nyawa rakyat.
Di sisi lain, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sendiri mengusulkan salah satu pendiri NU dan sekaligus pejuang Kemerdekaan RI K.H. Wahab Chasbullah menjadi Pahlawan Nasional.
Salah satu putra Wahab Chasbullah, KH Hasyim Wahab, mengatakan, PBNU bersama pihak keluarga saat ini sedang menyusun surat usulan penyematan gelar kepada pemerintah.
"Secara lisan, kami sudah berbicara soal usulan gelar pahlawan Mbah Wahab dengan pemerintah. Pemerintah melalui Bapak Menteri Sosial juga setuju dan meminta kami untuk mengajukan usulan," ujarnya.
Saat berbicara dalam talk show menyambut Hari Pahlawan yang digelar GP Ansor Surabaya di Royal Plasa Surabaya beberapa hari lalu, ia menceritakan sejarah perlawanan Arek-arek Suroboyo terhadap penjajah Belanda pada tahun 1945.
Mensesneg di era Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Bondan Gunawan, yang juga berbicara di acara tersebut mengatakan, peran NU pada perlawanan tersebut sangat besar.
"Resolusi Jihad yang dikeluarkan K.H. Hasyim Asy'ari saat itu dan disebarkan kepada para pejuang di Surabaya adalah penyemangat terbesar perlawanan," katanya.
Dari sini, Bondan berpendapat bahwa Islam tegas dan keras dalam konteks melawan penindasan. "Islam itu keras dalam melawan penindasan. Tapi bukan keras membunuh orang lain," ucapnya, menyindir kelompok tertentu yang mengusung gerakan berlabel Islam dengan aksi kekerasan.
Peran NU lainnya terhadap pembangunan Indonesia, tambah Bondan, yaitu saat awal-awal pembentukan negara. Ketika Negara baru dibentuk, timbul perdebatan soal penetapan syariat Islam yang mulanya dimasukkan dalam butir Pancasila.
"K.H. Wahid Hasyim saat itu yang menyetujui agar tujuh kosakata itu dihapus. Ini membuktikan betapa visionernya ulama NU dalam memandang bangsa yang dibentuk dari beda-beda suku dan darah ini," katanya.
Peringatan Hari Pahlawan
Jejak sejarah perjuangan Arek-arek Suroboyo melawan kolonialisme Belanda hingga kini masih membekas. Puing-puing bangunan kuno bekas peninggalan Belanda yang merupakan saksi perjuangan Arek-arek Suroboyo juga masih berdiri kokoh di sudut-sudut kota.
Sedikitnya ada sekitar 6.000-16.000 pejuang di Surabaya yang gugur dalam pertempuran merebut kemerdekaan melawan penjajah tepatnya pada 10 November 1945 atau setelah Proklamasi Kemerdekaan RI. Peristiwa 10 November 1945 ini yang kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan.
Semangat para pejuang di Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia patut mendapat apresiasi dari pemerintah. Salah satu yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat adalah memusatkan Peringatan Hari Pahlawan di Kota Surabaya.
Tidaklah berlebihan karena Peringatan Perang Dunia II setiap tahun tidak diperingati di Kota Warsawa, Ibu Kota Polandia, melainkan diperingati di Kota Gdansk, salah satu kota di pinggiran Polandia. Dasar pemikirannya, dari Kota Gdansk atau Danzig itulah untuk pertama kalinya pertempuran Perang Dunia II meletus.
Karena itu, usulan peringatan Hari Pahlawan di Surabaya yang telah digulirkan beberapa tahun lalu perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah. Keinginan tersebut ternyata mendapat respons postif oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial.
Ketua Panitia Nasional Peringatan Hari Pahlawan, Achmad Zaini mengatakan upacara peringatan Hari Pahlawan pada 10 November tahun ini dijadwalkan berpusat di Surabaya sebagai bagian dari penghormatan terhadap jasa para pahlawan yang gugur dalam pertempuran di Surabaya 67 tahun silam.
Zaini mengatakan pihaknya telah melakukan pendekatan dengan pemerintah pusat agar peringatan Hari Pahlawan dipusatkan di Surabaya, bukan Jakarta.
Dalam acara peringatan tersebut, direncanakan diisi berbagai kegiatan, antara lain penyebaran pamflet lewat udara pada 5 November 2012, Gema Pidato Gubernur Suryo menolak ultimatum tentara sekutu, serta orasi Bung Tomo.
Selain itu, ada semarak 'spotlight' berupa sinar laser di Tugu Pahlawan serta agenda rembug nasional. Kemudian, puncaknya upacara bendera di Tugu Pahlawan.
Tidak hanya itu saja, lanjut dia, akan ada juga pemberian penghargaan terhadap 9 tokoh Jawa Tmur yang memiliki semangat kepahlawanan. Kriteria penghargaan juga dilihat berdasarkan tata cara perjuangannya meraih sesuatu yang dicita-citakannya.
Masing-masing (alm) mantan Gubernur Jatim Moh. Noer, Ny. Soekarno selaku pengusaha kapal, Pengusaha peralatan rumah tangga Alim Markus, Pengusaha rokok Susilo Wonowijoyo, putra kandung Bung Tomo yaitu Bambang Sulistomo. Di samping itu, Mendikbud Muhammad Nuh, ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Menteri BUMN Dahlan iskan, serta Gubernur Jawa Timur Soekarwo.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Lokal Peringatan Hari Pahlawan Herry Lentho mengatakan Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2012 akan dikemas berbeda dari tahun-tahun sebelumnya yakni tidak banyak seremonial melainkan lebih menekankan nilai-nilai kebangsaan dan kepahlawanan bagi generasi muda.
"Peringatan Hari Pahlawan 2012 mengusung tema "Studi Bangsa". Kenapa kami mengambil tema studi bangsa?, supaya peringatan tidak hanya seremonial saja, namun sekaligus menanamkan nilai kepahlawanan dan kebangsaan pada generasi mendatang," jelasnya.
Menurut dia, selama 67 tahun memperingati Hari Pahlawan, seakan tidak ada makna yang bisa diaktualisasiakan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dikarenakan masih adanya penyakit sosial di masyarakat seperti halnya masih banyak pertikaan antarsuku dan agama, tawuran antarpelajar, korupsi dan lainnya.
"Ini seoalah-olah hanya seremonial saja, makanya kami ingin ubah itu," ujarnya.
Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Surabaya Maulisa Nurusia menambahkan, dengan tema "studi bangsa", semua program diorientasikan sebagai media belajar bagi anak muda tentang spirit Surabaya sebagai Kota Pahlawan.
Untuk itu, lanjut dia, para siswa yang mengikuti studi tour kejuangan dan kebangsaan diajak keliling mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Surabaya seperti Plampitan, Pandean, dan Peneleh sebagai salah satu situs tempatnya para tokoh Nasional.
"Di Peneleh para pelajar akan tahu bahwa Pahlawan Nasional seperti HOS Cokro Aminoto, Semaun, Karto Suwiryo dan Bung Karno pernah tinggal di sana," katanya.
Menurut dia, Peringatan Hari Pahlawan tahun ini telah digelar mulai 27 Oktober hingga 10 November. Beragam kegiatan yang diselenggarakan, selain studi tour kejuangan dan kebangsaan, sekolah kebangsaan, Surabaya membara, Parade Surabaya Juang, dan Pemutaran Film Dokumenter 100 tahun Bung Karno.
(A052/Z003)
Semangat Kepahlawanan 10 November Dari Bilik Pesantren
Sabtu, 10 November 2012 15:09 WIB