Jakarta (ANTARA Kalbar) - Sujarno dan empat rekannya pagi itu tampak sibuk memberi pakan pada 36 sapi yang ada di kandang yang terletak di antara pohon-pohon sawit miliknya di desa Simpang Perak Jaya Kabupaten Siak Provinsi Riau.
Peternak 38 tahun itu bukan hendak beralih profesi dari petani sawit menjadi peternak sapi, tetapi dia sedang menekuni program pengembangan sistem integrasi tanaman ternak (SITT) yang dirintis Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau sejak 2010 lalu.
Sujarno kini merupakan Ketua Kelompok peternak Duku 124 Desa Simpang Perak Jaya yang bersama 10 petani sawit lainnya mengelola 36 sapi bantuan Pemerintah yang selain untuk dibesarkan juga dimanfaatkan kotoran dan urinnya untuk pupuk tanaman sawit.
Menurutnya program SITT ini sangat membantu peningkatan pendapatan dia dan 11 petani lainnya, karena ternyata pupuk hasil olahan urin sapi memiliki kualitas yang bagus dan laku di pasaran dengan harga yang tinggi.
"Keuntungan dari penjualan pupuk urin ini lebih bagus dari pendapatan menjual sawit," kata Sujarno.
Belum lagi jika menghitung pendapatan dari penjualan sapi yang telah digemukkan dan pupuk dari kotoran sapi.
Peternakan sapi di tengah kebun sawit ini juga sangat efisien karena pakan sapi bisa dibuat dari olahan pelepah batang sawit sehingga keberadaan sapi dan sawit ini benar-benar mendatangkan keuntungan bagi petani.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau, Askardiya Patrianov mengatakan program ini ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani sawit rakyat dengan beternak sapi sekaligus melakukan pengolahan kotoran dan urin sapi menjadi pupuk untuk sawit dan tanaman lainnya.
"Petani sawit rakyat ini harus dijaga pendapatannya karena harga sawit sangat tergantung kondisi ekonomi dunia. Begitu juga jika sudah memasuki masa 'replanting' yang membuat petani kehilangan pendapatannya," kata Patrianov.
Dinas peternakan provinsi Riau pada awalnya sejak 2010 memberikan bantuan sapi kepada sejumlah kelompok petani sawit dengan dana dari APBN, yang kemudian dilengkapi dengan bantuan dari berbagai pihak seperti Bank Indonesia dan BNI untuk pembuatan pupuk kompos dari kotoran dan urin sapi.
Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Indonesia Pekanbaru Hari Utomo menjelaskan kegiatan ini merupakan bagian dari program kemitraan bina lingkungan Bank Indonesia yang dilaksanakan sejak 2011.
Dalam kegiatan ini, BI membantu dua kelompok petani sawit di Kecamatan Kerinci Kanan Kabupaten Siak seperti pada Kelompok peternak Duku 124 Desa Simpang Perak Jaya yang mendapat bantuan pengadaan rumah kompos berikut mesin pengolahan kompos dan pengolahan urin sapi menjadi pupuk.
"Sejak 2011 kita memberikan kemitraan kepada dua kelompok petani sawit senilai Rp700 juta," kata Hari.
Butuh dukungan
Serupa yang dijalankan Sujarno, di Desa Rawang Kao, Kecamatan Lubuk Dalam Kabupaten Siak, Samiran bersama puluhan petani sawit lainnya membentuk koperasi untuk menjalankan Sistem Integrasi Tanaman Ternak ini yang sudah dimulai sejak 2007.
Samiran yang menjadi Ketua Koperasi Karya Tunggal ini membawahi empat kelompok petani sawit yang dibagi empat tugas masing-masing seperti penggemukan sapi, pengolahan kotoran dan urin, pemupukan sawit hingga pemasaran pupuk.
Hampir lima tahun menekuni peternakan terpadu ini, Koperasi Karya Tunggal sudah mendapat kepercayaan sejumlah bank dalam mendapatkan kredit untuk memperbesar usaha ini.
Pada 2010, BRI memberikan pinjaman sebesar Rp400 juta yang digunakan untuk investasi perluasan kandang dan pembelian mesin pengolahan pupuk, dengan menggunakan jaminan rumah dan kebon sawit milik Samiran.
Dengan tambahan dana itu, produksi pupuk urin Koperasi Karya Tunggal sudah berhasil memberikan keuntungan sebesar Rp300 juta dalam setahun atau 30 persen dari pendapatan yang mencapai sekitar Rp1 miliar.
Pendapatan itu diperoleh dengan memelihara sebanyak 50 sapi yang menghasilkan pupuk urin sekitar 100 ribu liter per tahun.
"Untungnya lumayan, bahkan jauh lebih besar dari pada keuntungan sawit," kata Samiran pria 50 tahun kelahiran Yogyakarta ini.
Selain keuntungan finansial, pupuk urin yang diolah Samiran juga terbukti lebih murah dan efisien dibanding pupuk yang dijual dengan subsidi pemerintah.
"Pupuk kimia Pemerintah itu perlu Rp18 juta per hektar per tahun sementara pupuk sapi Rp8 juta per hektar dengan hasil yang lebih besar," katanya.
Dengan harga yang lebih murah dan hasil yang lebih, produksi pupuk urin Koperasi Karya Tunggal sangat diminati petani sawit rakyat di daerah itu meski pemasarannya harus dengan cara gelap mengingat produk ini dianggap tidak sesuai standar Kementerian Pertanian.
Peraturan Menteri Pertanian No.70/2011 mensyaratkan tingkat NPK antara 3 - 6, sementara pupuk urin Samiran hanya memiliki kadar NPK di bawah 2, yang justru membuat mikroba di pupuk hidup dan membuat tanaman sawit di daerah itu lebih subur.
Patrianov mengatakan standar pupuk Kementerian Pertanian itu hanya bisa dihasilkan oleh produsen pupuk besar dalam hal ini pabrik pupuk kimia yang selama ini menjadi rekanan Kementerian Pertanian, sementara pupuk produksi petani sulit mengejar standar itu.
"Tetapi justru pupuk urin ini yang lebih cocok dipakai untuk tanaman sawit disini, sehingga seharusnya Kementerian Pertanian mendukung pupuk ini karena lebih murah sehingga bisa menurunkan anggaran untuk subsidi pupuk," katanya.
(D012)
Saat Petani Sawit Sekaligus Peternak Sapi
Rabu, 14 November 2012 15:33 WIB
Peternakan sapi di tengah kebun sawit ini juga sangat efisien.