"Kulit biji cempedak sejak tahun 2001 sudah kami teliti untuk obat-anti malaria," kata Ketua Tim Penelitian Obat Anti-Malaria ITD-Unair Dr Aty Widyawaruyanti, MSc, di Laboraturium Departemen Farmasi dan Fitokimia Universitas Airlangga Surabaya, Kamis.
Para peneliti menggunakan kulit batang cempedak yang hanya berasal dari Kalimantan. "Dipilih yang berasal dari Kalimantan, karena di wilayah inilah jenis ini paling unggul," kata Aty.
Kulit batang tumbuhan dengan nama latinArtocarpus champedem yang diproses menjadi ekstrak ini memiliki sekelompok senyawa yang teruji klinis mampu membunuh parasit malaria.
"Ada beberapa senyawa yg kami isolasi dan uji coba. Salah satunya lebih aktif dari Kina," jelas Aty.
Karena lebih aktif, maka senyawa yang diketahui bernama Heteroflavanon C, dikatakan Aty, memiliki senyawa yang lebih unggul dibandingkan dengan kina.
"Hasil uji klinis hingga kini masih berlangsung kepada 60 orang," ungkap Aty yang menambahkan bahwa ini merupakan fase kedua yang harus dilewati.
Dari empat fase, para peneliti sudah melewati fase pertama yang merupakan fase toksik, yang bertujuan untuk melihat toksisitas kepada subjek.
"Tapi untuk obat herbal langsung loncat ke percobaan kepada orang sakit," jelas Aty.
Sementara itu untuk fase ketiga dan keempat dilakukan saat obat sudah mulai dipasarkan.
Enam puluh pasien ini meminum obat anti-malaria dari kulit batang cempedak setiap hari selama lima hari dengan dosis 450 miligram.
"Setelah lima hari konsumsi, para pasien mengaku merasa lebih nyaman karena tidak merasakan demam, tidak menggigil, dan sakit kepala," ungkap Aty.
Pada hari kelima kondisi pasien kembali diperiksa dan parasit malaria ditemukan sudah menjadi negatif. Namun Aty menjelaskan bahwa kondisi ini akan terus dipantau hingga hari keduapuluh.
Formula yang sudah mendapatkan hak paten ini dikatakan Aty sudah mendapat tawaran untuk dipasarkan oleh industri, namun belum menemui kesepakatan.
(Ant News)