Jakarta (Antara Kalbar) - Dua peristiwa di Indonesia pada bulan Juni 2003 ini memiliki signifikansi tinggi terhadap kondisi kehutanan di negeri ini, salah satunya adalah perayaan Hari Lingkungan Hidup yang diperingati secara global setiap tanggal 5 Juni.
Hari Lingkungan Hidup atau kerap disingkat WED ("World Environment Day") ini berdasarkan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yang digelar pada 5-16 Juni 1972.
Peringatan Hari Lingkungan Hidup itu digelar dengan beragam tema setiap tahunnya dengan tujuan utama untuk membangkitkan kesadaran global untuk mengambil tindakan yang positif terhadap lingkungan hidup termasuk habitat hutan.
Namun sayangnya, peningkatan kesadaran terhadap tindakan positif itu ternyata bertentangan dengan satu peristiwa lainnya, yaitu munculnya kabut asap akibat kebakaran hutan yang terjadi di sejumlah kawasan hutan di wilayah RI pada Juni 2013 ini.
Kabut asap kebakaran itu tidak hanya mengganggu sejumlah kota seperti Pekanbaru (Riau), tetapi juga hingga menghinggapi negara tetangga, Singapura.
Karenanya, berbagai LSM lingkungan hidup yang beroperasi di Indonesia juga mempertanyakan mengenai pengelolaan kehutanan di Tanah Air.
Padahal, Indonesia sendiri sebenarnya telah menandatangani perpanjangan moratorium (penghentian sementara) konversi hutan pada Mei lalu.
Salah satu LSM, Greenpeace mengungkapkan bahwa setengah titik api yang terdeteksi pada 11 hingga 18 Juni dimana asapnya sampai Singapura dan Malaysia, ternyata berada di kawasan yang seharusnya dilindungi oleh moratorium konversi hutan Indonesia.
"Fakta bahwa api terus mempengaruhi kawasan memperlihatkan betapa lemahnya skema perlindungan hutan ditegakkan di Indonesia," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Yuyun Indradi, dalam siaran pers, Kamis (20/6).
Untuk itu, menurut Yuyun, perusahaan-perusahaan yang mengakibatkan kebakaran hutan itu juga harus bertanggung jawab dan berkomitmen kepada "nol deforestasi".
Ia juga menegaskan agar perusahaan tersebut segera menghentikan praktek melanggar hukum seperti pembukaan lahan dengan membakar serta merusak hutan.
Analisis Greenpeace terhadap revisi terkini peta moratorium (PIPIB) juga menemukan masih ada lebih dari 10 juta hektar hutan primer dan sekitar 32 juta hektar hutan sekunder di Indonesia yang belum terlindungi secara hukum.
"Dalam setiap revisi jumlah hutan yang terproteksi secara legal di bawah moratorium terus berkurang, lebih dari enam juta hektar sudah berkurang sejak 2011," katanya.
Yuyun mengingatkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini menyatakan kepada Greenpeace akan berupaya lebih keras untuk memperkuat perlindungan lingkungan.
Ia berpendapat, kurangnya data terkini dan transparansi menciptakan kebingungan mengenai hutan mana yang sebenarnya terlindungi moratorium. Berdasarkan data terbaik yang tersedia, moratorium hutan tumpang tindih dengan 5,5 juta hektar kawasan yang izinnya telah diberikan untuk dijadikan perkebunan kayu dan minyak sawit, penebangan selektif atau pertambangan.
"Pemerintah harus meninjau kembali konsesi-konsesi yang telah diberikan, meningkatkan transparansi dalam hal pemberian izin, menciptakan basis data lahan rendah karbon yang kredibel sebagai alternatif dari perusakan lahan tinggi karbon serta melakukan rencana penggunaan lahan yang jelas," katanya.
Menanggapi asap kabut yang menghinggapi hingga Singapura itu, Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya mendesak pemerintah Malaysia menghukum delapan perusahaan asal "Negeri Jiran" apabila nanti terbukti di pengadilan terlibat dalam pembakaran lahan di Provinsi Riau.
Balthasar Kambuaya di Pekanbaru, Sabtu (22/6) mengungkap delapan perusahaan dari Malaysia yang diduga kuat membakar lahan dan menyebabkan kebakaran besar di Riau. Semua perusahaan itu bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.
Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif menyatakan, pemerintah Indonesia mewaspadai pihak-pihak yang melakukan kampanye hitam terkait masalah kabut asap itu.
Syamsul Maarif mengatakan pihaknya dalam menentukan kebakaran tetap bekerja sama dengan instansi terkait, dan pantuan terakhir satelit NOAA di BMKG Pekanbaru pada Jumat (21/6) menunjukan jumlah titik panas (hotspot) hanya 19 titik.
Sedangkan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan pemerintah mengupayakan secepatnya pemadaman kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan asap di sejumlah titik panas di Riau, dengan bom air dan hujan buatan.
"Asap ini menjadi bencana nasional dan pemerintah akan melakukan penanganan secepatnya yaitu pemadaman titik api dengan bom air dan hujan buatan," kata Zulkifli Hasan di Kota Dumai, Riau, Sabtu (22/6).
Hal tersebut karena kabut asap itu sudah sangat mengganggu, bahkan nahkoda kapal yang melayani pelayaran Singapura-Batam mengurangi kecepatan kapal demi keselamatan penumpang akibat jarak pandang pendek terhalang kabut asap kebakaran hutan Sumatera.
"Biasanya kecepatan rata-rata 30 knott, tapi sekarang harus dikurangi menjadi maksimal 26 knot karena jarak pandang berkurang," kata nahkoda kapal feri, Leonard di Batam, Jumat (21/6).
Kabar Baik
Sebelum peristiwa kabut asap akibat kebakaran hutan tersebut, Greenpeace sebenarnya telah mengemukakan bahwa pihaknya berbesar hati bahwa Presiden SBY telah memperbarui komitmennya melindungi hutan dan mengurangi emisi karbon negara ini secara besar-besaran dengan menyetujui perpanjangan moratorium.
"Jika lobi dari minyak sawit yang kuat di Indonesia berhasil, moratorium hutan bisa saja gagal dan izin membabat hutan terbuka bagi kertas dan pulp, minyak sawit dan konsesi pertambangan," kata Yuyun.
Namun sayangnya, ujar dia, ternyata tidak banyak perubahan pada moratorium karena pemerintah dinilai belum mengambil langkah yang cukup karena belum mencakup semua hutan dan gambut.
Menurut Yuyun, hal tersebut yang sesungguhnya dibutuhkan jika Indonesia ingin menyelamatkan harimau dan orangutan yang tersisa yang saat ini berada dalam ancaman akibat ekspansi minyak sawit serta kertas dan pulp.
"Lebih jauh lagi, moratorim tidak mencakup hal-hal penting yang berhubungan dengan pengawasan, yang menurut kami adalah inti dari semuanya," katanya.
Ia menegaskan, tanpa pengawasan yang benar, moratorium menjadi surat keputusan yang lemah.
Greenpeace sendiri telah mengawasi dari dekat pelaksanaan moratorium dan selama dua tahun terakhir masih ditemukan kasus-kasus tumpang tindih konsesi dan beberapa deforestasi (pelanggaran batas) di kawasan-kawasan yang dilindungi.
Untuk itu, LSM internasional tersebut menginginkan agar pihak yagn berwenang harus dapat mengharmonisasikan rencana tata ruang, pengembangan kebijakan sektoral dan pemetaan.
Selain itu, langkah-langkah lainnya yang perlu dilakukan adalah penegakan hukum yang lebih kuat termasuk penanganan korupsi dan pencucian uang di sektor kehutanan serta mekanisme untuk resolusi konflik sosial.
"Kami akan terus melakukan investigasi serta mempublikasikan kasus-kasus deforestasi, perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab serta hukum yang akan menguatkannya. Kami akan mengingatkan Presiden bahwa jalan menuju nol deforestasi memiliki arti lebih dari sekedar penandatanganan surat keputusan," katanya.
Data dari pemerintah Indonesia sendiri juga menyebutkan bahwa laju deforestasi Indonesia adalah 450 ribu hektare per tahun.
Saat ini, masih menurut data tersebut, hutan hujan tropis primer di Indonesia tersisa kurang dari 50 persen dari total 130 juta hektare yang diklaim sebagai kawasan hutan.
"Bisa dibayangkan betapa sedikitnya hutan hujan tropis primer tersisa di pulau-pulau besar di Indonesia. Masalah kehutanan kembali menguat dalam isu perubahan iklim karena kontribusi signifikan dari deforestasi dan alih fungsi hutan yang mencapai hingga 60 persen -70 persen dari total emisi Indonesia," kata Yuyun.
Greenpeace juga mendesak RSPO (organisasi global untuk produksi kelapa sawit berkelanjutan) untuk menetapkan standar yang kuat untuk mengubah industri dan memutuskan hubungan antara kelapa sawit dengan deforestasi.
Selain Greenpeace, salah satu LSM lingkungan lainnya yang mengkritik kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
Direktur Provinsi Kalimantan Tengah Arie Rompas pada beberapa kesempatan menyatakan bahwa pihaknya pesimistis bahwa perpanjangan moratorium hutan dapat berjalan antara lain karena tidak ada ketegasan pemberian hukum bagi berbagai pihak yang melanggarnya.
Arie mengingatkan bahwa pemberlakuan moratorium pada 2011-2013 disinyalir masih terjadi pelanggaran dengan masih adanya banyak izin baru yang dikeluarkan baik untuk usaha pertambangan maupun perkebunan di hutan yang termasuk area moratorium.
Padahal, ujar dia, seharusnya kebijakan moratorium dari pemerintah menjadi pemicu akan penegakan hukum atas kegiatan perusakan hutan termasuk untuk para pejabat yang telah mengeluarkan izin usaha bagi perusahaan pelanggar motarorium.
Sementara itu, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Walhi Zenzi Suhadi mengatakan, masa moratorium pada periode 2011-2013 menjadi masa perusakan hutan yang tertinggi dengan kondisi kritis.
Zenzi mengemukakan, pihaknya sebenarnya mendukung perpanjangan moratorium yang lebih ditekankan antara lain pada penegakan hukum terhadap mereka yang telah berkontribusi dalam perusakan hutan.
Data Walhi juga menyebutkan bahwa pada periode Januari-Mei 2013, telah terjadi bencana ekologis akibat kerusakan lingkungan di seluruh provinsi di Indonesia.
Selama kurun waktu tersebut, telah terjadi 776 kali bencana yang melanda 3.846 desa/kelurahan yang tersebar di 1.584 kecamatan dan 311 kabupaten/kota.
Untuk itu, berbagai LSM seperti Walhi dan Greenpeace sebenarnya mengingatkan pemerintah untuk melakukan pengelolaan yang lebih baik, serta lebih benar, dalam mengatasi berbagai persoalan di beragam sektor yang berhubungan dengan lingkungan hidup, termasuk Indonesia.
Salah satu yang paling disorot adalah penegakan hukum, yang dinilai masih sangat lemah. Perbaikan terhadap hal tersebut sangat penting agar kebijakan moratorium tidak lagi hanya menjadi sekadar "macan ompong di atas kertas".
Artikel - LSM Minta Penegakan Hukum Pengelolaan Kehutanan
Sabtu, 22 Juni 2013 20:50 WIB