Semarang (Antara Kalbar) - Keberlanjutan ekspor rajungan sebagai komoditas ekspor perikanan tertinggi ketiga Indonesia dengan nilai 368 juta dolar AS, membutuhkan segera disahkannya peraturan pengelolaan sumber daya rajungan.
Benang merah itu mengemuka dalam lokakarya nasional bertema "Pengelolaan Penangkapan Rajungan di Perairan Utara Jawa" yang digagas Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BBPPI) Ditjen Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) di Semarang, Jawa Tengah, Selasa.
Kepala BBPPI Semarang Ir Bambang Ariadi, M.M dalam kesempatan itu mengatakan pembangunan perikanan tangkap dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama menghadapi krisis energi, degradasi lingkungan dan juga kelestarian sumberdaya.
"Termasuk sumber daya rajungan," katanya pada acara yang dihadiri Sesditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP Dr Syafril Fauzi, Dr Peter Mous dari IMACS, yakni "USAID funded project for climate change" yang memiliki proyek pendekatan pengkajian stok rajungan di Kendari, Jeremy Crawford dari NFI Crab Council, perwakilan asosiasi importer rajungan Amerika di Asia.
Selain itu, Christo Hutabarat dan Dessy Anggraeni dari "Sustainable Fisheries Partnership" (SFP), LSM internasional yang menjadi "advisor" kegiatan keberlanjutan perikanan rajungan di Indonesia dan Filipina.
Menurut Bambang Ariadi, ketiga hal tersebut merupakan komponen penting dalam roda laju pembangunan perikanan tangkap.
Untuk itu perlu upaya bersama untuk menyamakan persepsi, sekaligus melakukan konsolidasi dalam pembangunan serta menyikapi situasi dan kondisi terakhir pembangunan perikanan tangkap, agar nantinya dapat diambil langkah dengan tepat dalam mengatasi setiap tantangan.
Dikemukakannya bahwa meningkatnya permintaan pasar global terhadap komoditas rajungan mendorong peningkatan produksi dari negara-negara pengekspor.
Kondisi pasar yang demikian, katanya, secara perlahan mengubah tatanan kinerja pasokan rajungan.
"Berbagai cara penangkapan yang tidak memperhatikan kelestarian ekosistem bermunculan dan memicu kenaikan tingkat kerusakan terhadap lingkungan," ungkapnya.
Selain itu, untuk pemenuhan kebutuhan permintaan pasar yang besar akan semakin mendorong pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan yang seringkali tidak mengindahkan kebijakan dan peraturan yang berlaku.
Dampak
Ia mengatakan dampak dari kondisi tersebut antara lain adalah terganggunya sumber daya rajungan yang mengakibatkan terganggunya persediaan stok rajungan di laut.
Sedangkan dampak lain adalah penurunan kualitas dan kuantitas hasil tangkapan yang mengakibatkan penurunan kekuatan menawar dari pelaku bisnis perikanan di Indonesia.
"Penurunan kuantitas dan kualitas produk tersebut akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan," ucapnya.
BBPPI sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen Perikanan Tangkap berkewajiban mendukung setiap program KKP dalam rangka kelestarian sumber daya ikan, khususnya rajungan dan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.
Untuk mendukung hal tersebut, maka tahun 2013 salah satu kegiatan kerekayasaan di BBPPI yaitu uji coba model pengelolaan penangkapan rajungan.
BBPPI telah melakukan kerekayasaan alat tangkap rajungan yang disebut bubu rajungan tipe kubah.
Direktur Eksekutif APRI Arie Prabawa mengatakan bahwa lokakarya itu, selain ingin melanjutkan ekspor, juga untuk mengangkat 65 ribu nelayan kecil serta membuka lapangan kerja bagi 13 ribu tenaga pengupas rajungan.
Sehingga, katanya, diperlukan pengelolaan perikanan rajungan yang berkelanjutan. "Minimal tersedianya bahan masukan untuk mempercepat dikeluarkannya ketentuan berupa rencana berupa rencana pengelolaan perikanan rajungan (RPP)," tuturnya.
Tujuan utama kegiatan itu, adalah mendorong segera disahkannya peraturan pengelolaan sumberdaya rajungan, dalam bentuk RPP rajungan oleh KKP, yang diusulkan melalui Ditjen Tangkap.
Keberlanjutan Ekspor Rajungan Butuhkan Peraturan Pengelolaan
Selasa, 22 Oktober 2013 21:00 WIB