Jakarta (Antara Kalbar) - Pemerintah mendorong peningkatan produksi karet rakyat, meskipun saat ini harga karet dunia mengalami penurunan hingga menyentuh harga 1,6 dolar Amerika Serikat per kilogram.
"Kita harus meningkatkan produktivitas, karena produksi di Indonesia hanya berkisar antara 600-700 kilogram per hektare, sementara di negara tetangga khususnya yang tergabung dalam ASEAN sudah mencapai dua hingga tiga ton per hektare," kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, saat berdiskusi dengan wartawan di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Jumat.
Bayu mengatakan, peningkatan produktivitas tersebut merupakan tantangan besar dan sesungguhnya sudah berlangsung sejak lama, namun hasilnya masih harus terus ditingkatkan. Dan ditengah turunnya harga karet dunia, selain meningkatkan produktivitas tersebut, para petani karet itu juga harus mampu meningkatkan kualitas karet.
Menurut Bayu, dengan harga karet dunia yang terus mengalami penurunan itu, petani karet hanya mengantongi hasil penjualan karet sebesar Rp6.000-Rp7.000 per kilogram, meskipun sesungguhnya harga karet dunia berada dalam kisaran Rp18.000-Rp20.000 per kilogram.
"Petani hanya mendapatkan harga Rp6.000-Rp7.000 per kilogram, karena selain dipotong biaya transpor dan biaya olah, namun yang menjadi faktor penting adalah tingkat kebersihan dari karet yang kita hasilkan," tutur Bayu.
Ia menjelaskan, dengan karet yang dihasilkan kurang bersih tersebut maka para petani karet hanya mampu menikmati hasil yang sangat kecil, namun jika kualitas karet mampu ditingkatkan sebesar 20-30 persen, maka para petani tersebut diperkirakan mengantongi hasil sebesar Rp10.000-Rp12.000 per kilogram, meskipun harga karet dunia seperti pada saat ini.
"Dengan pendapatan sebesar itu, akan sangat berarti bagi para petani meskipun harga internasional tidak mengalami kenaikan, seharusnya petani bisa meningkatkan," kata Bayu.
Bayu menambahkan, langkah untuk meningkatkan produksi dan kualitas karet dari petani Indonesia tersebut juga merupakan salah satu langkah dalam menghadapi penurunan harga karet dunia tersebut.
Menurut dia, penurunan tersebut diakibatkan adanya perubahan struktur produksi karet dunia, di mana saat ini Vietnam telah menjadi produsen karet terbesar ketiga dunia yang mampu menggeser posisi Malaysia, sementara Indonesia berada di urutan kedua, dan Thailand merupakan negara terbesar penghasil karet.
Sesungguhnya, lanjut Bayu, sudah ada kerja sama bagi negara produsen karet yang tergabung dalam "International Tripartite Rubber Council" (ITRC), di mana Indonesia, Thailand dan Malaysia melakukan kerja sama dalam mengelola pasokan karet.
"Dengan masuknya Vietnam, membuat kerja sama tersebut menjadi berkurang efektifitasnya. Demikian juga Laos dan Kamboja, mereka juga sudah masuk ke produsen karet, bahkan India dan China (Tiongkok) juga mulai menjadi pemasok karet," ujar Bayu.
Langkah lain yang diambil untuk menghadapi penurunan harga karet dunia tersebut, lanjut Bayu, adalah dengan mengusulkan agar ITRC tersebut ditingkatkan dan dikembangkan menjadi "ASEAN Rubber Committee/Coopertaion".
"Artinya ada kerja sama karet alam di ASEAN, dengan demikian maka bukan hanya tiga negara tersebut tapi juga bisa menyertakan Vietnam, Laos, Kamboja bahkan Myanmar untuk bisa bergabung ke dalamnya," ujar Bayu.
Terkait pembicaraan lebih lanjut untuk komoditas karet pada ASEAN, bayu mengatakan bahwa rencana itu masih belum dimasukkan dalam agenda KTT ASEAN yang akan dilaksanakan pekan depan di Myanmar. Dan meskipun saat ini harga karet mengalami penurunan, Bayu meyakini bahwa prospek produsen karet masih menjanjikan dan masih sangat dibutuhkan.
"Kita sudah cukup lama mengajukan, sudah lama dibicarakan, tapi belum masuk agenda," ujar Bayu.
Ia menambahkan, harga karet yang dibawah dua dolar AS per kilogram tersebut merupakan kondisi yang tidak baik bagi para petani, dan kisaran harga yang realistis untuk saat ini dinilai akan baik pada kisaran 3-3,5 dolar AS per kilogram.
Berdasarkan data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), pada tahun 2013 lalu, produksi karet dalam negeri mencapai 3,1 juta ton, yang dibagi dari 2,4 juta ton dihasilkan karet rakyat, 340 ribu ton dari Badan Usaha Milik Negara, dan 370 ribu ton dari perusahaan swasta.
Perkebunan karet didominasi oleh perkebunan rakyat seluas 2,9 juta hektare, BUMN sebesar 259 ribu hektare, swasta 269 ribu hektare, dan total luas perkebunan karet di Indonesia kurang lebih 3,4 juta hektare.
Pemerintah Dorong Peningkatan Produksi Karet Rakyat
Jumat, 9 Mei 2014 23:57 WIB