Jakarta (Antara Kalbar) - Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satya Langkun mengatakan vonis penjara seumur hidup yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sesuai harapan masyarakat.
"Sejak awal ICW juga menuntut siapa pun hakim yang mengadili Akil Mochtar, harus menjatuhkan hukuman maksimal. Tuntutan ICW dan harapan masyarakat itu bukan tanpa alasan," kata Tama Satya Langkun dihubungi di Jakarta, Selasa.
Tama mengatakan hukuman maksimal kepada Akil itu bukan sekadar memberikan efek jera. Memang ada unsur pemberian efek jera karena Akil memiliki posisi sebagai hakim yang menjadi pintu terakhir keadilan.
Namun, selain itu kasus suap yang melibatkan Akil itu memiliki dampak yang sangat besar dan luas karena telah meruntuhkan sistem demokrasi di Indonesia.
"Akil menerima suap saat menangani kasus sengketa pilkada. Itu tidak hanya satu atau dua daerah. Ada 10 daerah yang dia tangani dan dia menerima suap dari kasus tersebut. Bisa dikatakan perilaku Akil itu telah meruntuhkan demokrasi Indonesia," tuturnya.
Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis mantan ketua MK Akil Mochtar dengan pidana seumur hidup dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan 10 sengketa pilkada dan tindak pidana pencucian uang.
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa M Akil Mochtar dengan pidana seumur hidup," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Suwidya Jakarta, Senin (30/6).
Pidana tersebut sesuai tuntutan jaksa penuntut umum meski tanpa pemberian denda dan hukuman tambahan. Sebelumnya, jaksa meminta Akil divonis penjara seumur hidup dan denda Rp10 miliar dan pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih.
"Hal yang memberatkan terdakwa adalah ketua lembaga tinggi negara yang merupakan benteng terakhir pencari keadilan sehingga harus memberikan contoh terbaik dalam integritas, kedua perbuatan terdakwa menyebabkan runtuhnya wibawa MK Republik Indonesia, ketiga diperlukan usaha yang sulit dan lama untuk mengembalikan kepercayaan kepada lembaga MK," kata Suwidya.
Hakim juga tidak melihat ada hal yang meringankan dari perbuatan Akil.
"Terdakwa dituntut dengan ancaman maksimal maka hal yang meringankan tidak dapat dipertimbangkan lagi," tuturnya.
Dalam pertimbangnya, majelis memang melihat bahwa perbuatan Akil harus dihukum berat.
"Setelah majelis bermusyararah, majelis sependapat dengan dakwaan tuntutan penuntut umum mengingat perbuatan terdakwa yang berat khususnya terkait penyelenggaraan pilkada di daerah sehingga denda tidak relevan lagi karena terdakwa dituntut pidana maksimal sehingga pidana itu tidak dapat diganti lagi bila terdakwa tidak bisa membayar tuntutan denda itu," kata Suwidya.
(D018/T. Susilo)