Jakarta (Antara Kalbar) - Mantan bendahara umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin memaparkan asal harta mantan ketua umum partai tersebut Anas Urbaningrum.
"Ada proyek-proyek yang berjalan sejak Mas Anas menjadi anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) sampai ketua Umum (Partai Demokrat), tapi proyek yang dipakai untuk menjadi ketua umum itu dibiayai Kemenakertrans," kata Nazaruddin saat menjadi saksi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin.
Nazaruddin menjadi saksi untuk terdakwa mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam sidang perkara penerimaan hadiah dari sejumlah proyek-proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang.
Proyek-proyek yang dimaksud Nazaruddin adalah pengadaan pesawat di Merpati (200 juta dolar AS), E-KTP (Rp5,8 triliun), gedung pusat pajak (Rp2,7 triliun), PLTU Kalimantan (Rp2,3 triliun), PLTU Riau (Rp1,3 triliun), pembangunan gedung Mahkamah Konstitusi (Rp136 miliar), pembangunan proyek di MK (Rp300 miliar), proyek 'refenery unit' Cilacap sebesar (Rp937 juta dolar AS).
Kemudian, proyek pembangunan PLTS di Kementerian ESDM 2007-2009 (Rp1,7 triliun), proyek Hambalang (Rp2,5 triliun), proyek Wisma Atlet (Rp 198 miliar) dan dari berbagai proyek itu ditarik 'fee' sebesar 18 persen.
Mangrove
Anas, menurut Nazaruddin, mulai berbisnis di Jakarta dari proyek mangrove di Kementerian Kehutanan.
"Waktu itu mulai jadi besar di sana, ada orangnya mas Anas namanya Reza, terus komunikasi, sampai terakhir 2007 baru dapat proyek gedung pajak. Tapi waktu dibawa ke Jakarta dijual aset- asetnya," tegas Nazaruddin.
Anas menurut Nazar, memiliki tanah pertambangan di Sulawesi Tenggara maupun dari proyek pengadaan kapal. Menurut Nazaruddin, Anas memiliki uang dua hingga tiga juta dolar yang disimpan di "safety box" di Singapura atas nama stafnya, Rahmat.
Kantong bisnis Anas lain ada di Kalimantan Timur yaitu dari tangan Khalilur R Abudllah dan Totok.
"Lilur sama Totok adalah kamar bisnis mas Anas. Saat itu Pak Irsan (Noor) bupati Kutai Timur, ingin jadi ketua DPP Kaltim tapi ada persoalan dengan yang lama maka Pak Irsan minta dibantu supaya tetap jadi ketua DPP, kita cari-cari Pak Anas dan ketemu Pak Irsan lalu terjadi pertemuan di Hotel Sultan sehingga mas Anas, Lilur, Totok, Isran, sebelumnya sudah mengutarakan untuk minta Rp5 miliar," ungkap Nazar.
Atas permintaan itu, Isran menyepakati Rp5 miliar. Selanjutnya Wakil Direktur Keuangan Grup Permai Yulianis memberikan cek ke Lilur Rp5 miliar dan cek itu diberikan ke Isran.
"Tambangnya Mas Anas lah. Kan Isran kasihnya ke Mas Anas, bukan ke saya, Lilur, atau Yulianis," tegas Nazaruddin.
Masih ada uang 1,5 juta dolar AS sisa dari kongres Demokrat untuk membeli rumah Anas di Yogya. Fee lain digunakan untuk membeli tanah di Karawang, Surabaya, tambang dan lainnya.
Anas dalam perkara ini diduga menerima "fee" sebesar 7-20 persen dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk satu unit mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta, satu unit mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.
Uang tersebut digunakan untuk membayar hotel-hotel tempat menginap para pendukung Anas saat kongres Partai Demokrat di Bandung, pembiayaan posko tim relawan pemenangan Anas, biaya pertemuan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan pemberian uang saku kepada DPC, uang operasional dan "entertainment", biaya pertemuan tandingan dengan Andi Mallarangeng, road show Anas dan tim sukesesnya pada Maret-April 2010, deklarasi pencalonan Anas sebagai calon ketua umum di Hotel Sultan, biaya "event organizer", siaran langsung beberapa stasiun TV, pembelian telepon selular merek Blackberry, pembuatan iklan layanan masyarakat dan biaya komunikasi media.
Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar.
(D017/A.F. Firman)