Jakarta (Antara Kalbar) - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyarankan dualisme pimpinan DPR yang semakin meruncing sebaiknya segera diselesaikan dengan menempuh jalan damai menggunakan metode musyawarah mufakat.
"Jalan satu-satunya adalah berdamai melakukan musyawarah mufakat, tapi bila tidak bisa melakukan musyawarah mufakat maka bisa mengajukan Judicial Review ke Mahmakah Agung," kata Refly di Jakarta, Rabu.
Menurutnya, dua kubu yang berseteru yakni Koalisi Indonesia Hebat versus Koalisi Merah Putih dalam perebutan jabatan pimpinan DPR, keduanya telah melanggar aturan undang-undang dan Tata Tertib DPR itu sendiri.
Dalam peraturan Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau MD3 pada pasal 232 dijelaskan aturan dalam setiap mengambil keputusan dalam rapat harus dihadiri setengah tambah satu.
Aturan itu pun diperkuat dalam tatib DPR pasal 251 ayat 1 juga dilanggar ketika pengambilan keputusan salah satunya pengaturan pimpinan Alat Kelengkapan Dewan dan rapat lanjutan lainnya.
"Keputusan-keputusan yang diambil pada dualisme pimpinan ini yang mengklaim sama sama benar, itu tidak sah, karena masing masing kubu hanya mempunyai lima fraksi yang berkembang saat ini," sebutnya.
Awal munculnya perseteruan tersebut hingga mengemuka ke publik, kata dia, disebabkan wacana paket yang ada pada UU MD3 pascadirevisi menjelang akhir masa jabatan anggota DPR priode 2009-2014.
"Bila ini terus berlarut larut maka bisa saja salah satu kubu mengajukan Judical Review atau peninjauan kembali guna merevisi UU MD3 sehingga dapat dilakukan rapat pemilihan ulang pimpinan Alat Kelengkapan Dewan sesuai proporsi masing-masing," sebutnya.
Kendati demikian perseteruan tersebut bisa diselesaikan dengan musyawarah mufakat dan pihak petinggi partai mesti melakukan pertemuan untuk membangun komunikasi serta negosiasi guna menemukan titik temu.
"Kalau sistem paket itu dihapus dari awal dan mengunakan cara satu orang satu suara maka pembagian alat kelengkapan dewan jelas, karena sudah porposional dan adil. Pemilihan lalu kan banyak 'Black Vote'," jelasnya.
Dirinya mengingatkan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dan wakil-wakil aspirasi rakyat yang merupakan rumah refresentatif dan kemajemukan masyarakat, sehingga DPR tidak bisa dikuasai kelompok tertentu.
"DPR itu lembaga rakyat dan tidak bisa dimiliki satu kelompok atau golongan tertetu saja tapi 560 orang sebagai keterwakilan rakyat. Anggota DPR harus mencerminkan keragaman bangsa, dan rasa keadilan bagi kesejahteraan masyarakat," tambahnya.
Pakar Hukum Tata Negara Sarankan KIH dan KMP Tempuh Musyawarah
Rabu, 5 November 2014 16:18 WIB