Pontianak (Antara Kalbar) - Hanya bergaji Rp5 ribu per hari, Fitrianingsih (32), ibu muda asal Dusun Bojong, Desa Wonolelo, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta itu, harus ikhlas menjadi buruh rumahan pada perusahaan produsen kerudung.
Fitrianingsih menjadi buruh rumahan atau harian pada sebuah perusahaan produsen kerudung di daerahnya, PT Jilbab Mart.
"Saya hanya menerima upah sebesar Rp600 rupiah untuk membuat satu kerudung. Jatah per harinya sekitar 20 hingga 25 helai atau sebesar Rp12 ribu/hari," kata Fitrianingsih saat ditemui di Yogyakarta awal pekan lalu.
Fitrianingsih tinggal bersama suaminya Eko Purwanto dan seorang anak, di bawah bukit Wonolelo, Bantul, yang rawan bencana longsor ketika musim hujan tiba.
Penghasilan Rp12 ribu, merupakan gaji "kotor" karena harus dipotong dengan biaya Rp1.000 untuk listrik, dan untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) ongkos mengantar sendiri kerudung yang telah selesai dikerjakannya ke PT Jilbab Mart yang cukup jauh dari tempat tinggalnya.
"Sehingga hasil bersih yang saya terima sebesar Rp5 ribu. Lebih kecil dari uang jajan anak saya untuk sekolah Rp6 ribu per hari," katanya, sambil menekuni jahitannya.
Pekerjaan itu, dengan ikhlas ia lakoni meski tidak sebanding dengan risiko pekerjaan. Ia pun tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan (Jamsostek), BPJS Kesehatan atau jaminan kesehatan lainnya.
"Daripada saya sehari-hari tidak ada kerja selain sebagai ibu rumah tangga, lebih baik menjadi buruh rumahan. Sehingga hasilnya bisa digunakan untuk membantu suami, dan bisa juga untuk ikut arisan dengan ibu-ibu disini," ujarnya.
Fitrianingsih mengatakan pekerjaan itu masih lumayan baik, karena semua bahan untuk membuat kerudung ditanggung oleh perusahaan. Mulai dari kain setengah jadi, spon, benang dan jarum, serta mesin juga dipinjami oleh pihak perusahaan. Tetapi untuk kerusakan dan membeli minyak mesin tidak ditanggung oleh pihak perusahaan.
"Sempat terpikir juga untuk mencari pekerjaan lain, menjadi buruh rumah menjahit tas yang upahnya Rp1.500 per buah, tetapi saya tidak enak sama majikan karena telah dipinjami mesin. Kalau mesin saya kembalikan, tidak enak sama pemilik perusahaan, apalagi sejak gadis dulu saya sudah bekerja di sana," ujarnya berterus terang.
Apa yang dia kerjakan sebagai buruh rumahan, diakuinya tanpa paksaan dari suaminya. "Suami saya tidak menyuruh saya untuk bekerja, ini murni keinginan saya mencari kesibukan lain, selain sebagai ibu rumah tangga dan agar bisa mencari penghasilan tambahan," katanya lagi.
Sementara suaminya, sehari-hari bekerja sebagai pembuat kursi dari bambu. Sudah tiga bulan ini usaha itu macet, karena sulitnya mendapatkan bahan baku dari bambu yang harus didatangkan dari luar.
"Sudah dua hingga tiga bulan ini, suami saya tidak bisa bekerja, karena kesulitan bahan baku bambu untuk membuat kursi," katanya.
Sebelum menikah dengan Eko Purwanto, perempuan itu juga telah bekerja di PT Jilbab Mart dengan gaji sebesar Rp600 hingga Rp700 ribu per bulan. "Saya memutuskan memilih sebagai buruh rumahan, karena kalau tetap bekerja di pabrik dengan upah sebesar itu juga akan habis untuk biaya transportasi dan lainnya," katanya.
Menurut dia lagi, lebih baik bekerja sebagai buruh rumahan dengan gaji Rp5 ribu atau Rp150 ribu/bulan, dan ditambah mendapat tunjangan hari raya (THR) setahun sekali sebesar Rp150 ribu, tetapi tetap bisa berkumpul bersama keluarga, sambil mengurus anak dan suami, meskipun hasil yang didapat sangat kecil.
Aktivitas lainnya dari sosok perempuan bersahaja itu, ternyata cukup padat. Mulai dari mengurus rumah tangga, bekerja sebagai buruh rumah, hingga mengajar di salah satu PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Aktivitas terakhir itu ia lakukan, guna meningkatkan sumber daya manusia anak-anak di dusunnya.
"Saya mengajar di PAUD hanya untuk membantu meningkatkan SDM anak-anak di dusun ini, meskipun tidak digaji, tetapi saya ikhlas dunia dan akhirat," katanya lagi.
Apalagi, saat ini, dirinya juga aktif sebagai anggota dari Yasanti (Yayasan Annisa Swasti), yang banyak memberikan pendidikan di bidang kesetaraan gender. "Sehingga dengan aktifnya sebagai anggota Yasanti, bisa menambah pengalaman, belajar manajemen pengelolaan keuangan, tentang gender, apalagi respon dari suami saya juga baik," ujarnya.
Intinya, menurut dia apapun yang dikerjanya sehari-hari itu, baik sebagai ibu rumah tangga, guru PAUD dan bekerja sampingan sebagai buruh rumahan, dikerjakan dengan ikhlas dan mendapat dukungan dari suami, selagi dirinya mampu melakukannya.
Penghasilan Fitrianingsih, ternyata lebih kecil dari buruh rumahan lainnya, Nurhasana (31).
Namun Nurhasana mengakui, meskipun upah yang dia terima sedikit lebih tinggi dari temannya itu, tetapi ia pernah mengalami kecelakaan kerja. "Saya malah pernah tertusuk jarum di bagian telunjuk kanan, akibatnya jari telunjuk saya kini menjadi tidak sepurna lagi," ujarnya.
Karena posisi dia sebagai buruh rumah harian lepas, maka sewaktu mengalami kecelakaan kerja, pihak perusahaan tempat dia bekerja tidak menanggung biaya perawatan dan lainnya.
"Sewaktu mengalami kecelakaan kerja, saya dan suami mengobati dengan membawa ke Puskesmas dengan biaya sekitar Rp30 ribu," katanya.
Baik Fitrianingsih maupun Nurhasana, sama-sama sadar dengan risiko yang bisa saja terjadi sewaktu bekerja, apalagi tanpa didukung jaminan kesehatan.
Gaji yang Nurhasana terima sebenarnya sedikit lebih tinggi dari Fitrianingsih. Nurhasana mendapat upah sebesar Rp1.500 /tas, dengan rata-rata dia bisa menyelesaikan sebanyak 20-25 tas setiap harinya atau sekitar Rp40 ribu/hari.
"Alhamdulillah dengan ada penghasilan tambahan, saya bisa membantu ekonomi keluarga," kata ibu satu anak itu.
Dukungan Suami
Suami Fitrianingsih, Eko Purwanto yang juga Kepala Dusun Bojong memberikan dukungan penuh terhadap istri dan warganya yang kini aktif dalam kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yasanti dalam menambah wawasan terkait kesetaraan gender.
"Saya tidak mempermasalahkan itu, asalkan apa yang mereka lakukan baik, dan tidak sampai menyalahi aturan yang ada," ujar Eko.
Ia berharap tidak hanya kalangan ibu-ibu saja yang diberikan pelatihan oleh LSM Yasanti, tetapi juga para suaminya diikutsertakan dalam pertemuan yang dilakukan LSM Yasanti agar memiliki kesamaan pandangan dalam permasalahan kesetaraan gender.
"Karena tidak semua para lelaki disini punya pandangan sama terhadap isu gender, sehingga perlu juga diberikan semacam pelatihan terkait permasalahan gender," ujar kepala Dusun Bojong itu.
Jumlah penduduk Dusun Bojong sebanyak 189 kepala keluarga (KK), sekitar 92 KK di antaranya masuk dalam kategori warga miskin. Sehingga tidak bisa dipungkiri masih banyak para perempuan warga setempat yang mencari pekerjaan sampingan sebagai buruh rumahan.
"Kami berharap Pemkab Bantul memperhatikan kesejahteraan warga kami, dan warga Bantul umumnya dengan memperhatikan nasib para ibu yang menjadi buruh rumahan. Seperti mendorong agar perusahaan tempat mereka bekerja menaikkan upah yang layak," katanya.
Ia menambahkan, alangkah baiknya kalau sampai upah yang mereka terima sama seperti upah minimum yang telah ditetapkan Pemkab Bantul sebesar Rp1.250.500 per bulan.
Sementara Divisi Advokasi dan Pelatihan LSM Yasanti, Hikmah Diniah menyatakan mereka telah membentuk Kelompok Kreatif Bunda yang pesertanya sebanyak 35 ibu-ibu di Dusun Bojong tersebut.
"Kelompok Kreatif Bunda kami bentuk sebagai upaya meningkatkan SDM ibu-ibu disini, dan memberikan pelatihan dalam membuat berbagai kerajinan, seperti kerudung, tas, kerajinan perak, emping," katanya.
Kegiatan lainnya, memberikan pemahaman pada mereka terkait kesetaraan gender, dan perlindungan atau pendampingan hukum, apabila ibu-ibu Dusun Bojong mengalami masalah hukum, seperti korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kasus lainnya.
Fitrianingsih adalah salah satu contoh kecil perempuan Indonesia yang tetap bertahan hidup dan bekerja dengan penghasilan minim. Masih banyak perempuan Indonesia lainnya, juga hidup dalam keterbatasan dan apa adanya.
Fitrianingsih Buruh Rumah Tangga Bergaji Rp5 Ribu
Sabtu, 31 Januari 2015 20:44 WIB
Kelompok Kreatif Bunda kami bentuk sebagai upaya meningkatkan SDM ibu-ibu