Manokwari (ANTARA) - Kepolisian Daerah (Polda) Papua Barat mencatat penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sejak Januari sampai Desember 2023 sebanyak 119 kasus atau mengalami peningkatan 95 persen dibanding tahun 2022.
Kepala Polda Papua Barat Inspektur Jenderal Johnny Eddizon Isir di Manokwari, Minggu, mengatakan peningkatan kasus mencerminkan bahwa masyarakat terutama korban KDRT telah memberanikan diri untuk memberikan laporan.
"Tahun 2022 ada 61 kasus KDRT yang ditangani, dan sepanjang tahun 2023 kasus KDRT yang ditangani meningkat menjadi 119 kasus," ucap Johnny Isir saat konferensi pers akhir tahun 2023.
Tahun 2024, kata dia, Polda Papua Barat akan memperkuat sinergi kolaborasi dengan instansi teknis pemerintah daerah guna menekan kasus KDRT melalui peningkatan edukasi dan sosialisasi bagi masyarakat.
Upaya tersebut nantinya juga melibatkan para tokoh seperti tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, dan tokoh pemuda agar upaya pencegahan lebih maksimal.
"Direktorat Bimbingan Masyarakat (Binmas) Polda menggandeng semua pihak supaya bisa menekan kasus KDRT. Kasus yang ditangani itu yang dilaporkan, masih ada yang belum dilaporkan," ucap dia.
Menurut Johnny, kepolisian tetap memprioritaskan upaya preventif dalam menyelesaikan masalah KDRT dan tidak mengabaikan penerapan hukum positif yang disesuaikan dengan kondisi korban.
Ada sejumlah faktor penyebab terjadinya kasus KDRT misalnya budaya patriarki yang memposisikan kaum pria sangat mendominasi dalam kehidupan sehari-hari dan ketimpangan gender.
"Penerapan hukum dilakukan secara humanis dan profesional. Tentu harus ditelusuri penyebab KDRT, apakah karena prianya dipengaruhi minuman keras atau lainnya," tutur Johnny.
Asisten II Sekretariat Daerah (Setda) Papua Barat Melkias Werinussa menjelaskan bahwa pemerintah provinsi terus melakukan penguatan serta pengembangan kapasitas lembaga penyedia layanan perlindungan bagi perempuan.
Pelibatan lembaga penyedia layanan bermaksud untuk menekan kasus kekerasan yang kerap menimpa kaum perempuan dan anak-anak, serta perlu dukungan dari seluruh komponen.
"Relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan terjadi di lingkungan rumah tangga, lingkungan masyarakat, maupun lingkungan kerja," jelas Melkias.
Pemerintah provinsi, kata dia, berkomitmen memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan melalui berbagai kebijakan seperti Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Nomor 11 Tahun 2013.
Selain itu, pemerintah provinsi telah membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai upaya mengoptimalkan pelayanan bagi korban kekerasan.
Ia menuturkan dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua Barat sejak Januari hingga 7 Desember 2023 tercatat ada 46 kasus.
Kemudian, kekerasan terhadap anak perempuan 43 kasus, kekerasan terhadap anak laki-laki 15 kasus, kekerasan seksual terhadap perempuan sembilan kasus, kekerasan seksual anak 31 kasus, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 25 kasus.
"Kasus kekerasan seksual dan KDRT yang terjadi di wilayah Papua Barat sangat dominan," ujar Melkias.