Pontianak (Antara Kalbar) - Sekretaris Jenderal Pro-Demokrasi (ProDem) Satyo Purwanto menyatakan, sistem politik termasuk sistem Pemilihan Kepala Daerah harus dibenahi untuk menutup ruang para koruptor untuk ikut dalam Pilkada.Â
"Kita harus memiliki persepsi yang sama tentang korupsi, kita harus menganggap‎ korupsi sebagai kejahatan bukan kebiasaan dan bukan mismanagement. Kami memiliki perhatian penuh dalam persoalan Pilkada Ini," kata Satyo Purwanto dalam keterangan tertulisnya yang diterima Antara, Sabtu.
Ia menyatakan, hingga saat ini, ProDem memiliki data para calon kepala daerah yang terindikasi korupsi ngotot maju dalam Pilkada 2017. Beberapa cakada tersebut misalnya, Bernard Sagrim, mantan Bupati Maybrat, Papua Barat yang pernah divonis 15 bulan penjara, yang bebas pada November 2015 lalu. Bernard disangkakan kasus dugaan penyalahgunaan dana sisa lebih penggunaan aggaran tahun 2011‎ sebesar Rp93 miliar.
Selain itu, kata Aktivis 98 ini, ada Utsman mantan Wali Kota Sidoarjo yang korupsi APBD tahun 2003 yang mengakibatkan kerugian negara Rp21,9 miliar, ada juga Mohamad Zayat yang terkenal dengan kasus korupsi dinas P dan K Sultra tahun 2003, dan satu lagi Ruslan Abdul Gani, calon Gubernur Aceh yang diduga melakukan korupsi Dermaga Sabang dan terakhir, Ahmad Hidayat Mus, Balon Maluku Utara terbelit kasus korupsi dan ditangani Mabes Polri.
Lebih jauh, Satyo menuturkan, saat ini pihaknya mendukung upaya penegakan hukum dengan menjatuhkan hukuman yang maksimal kepada pelaku korupsi sehingga menimbulkan efek jera bukan hanya kepada pelaku korupsi tetapi juga kepada calon-calon yang berpotensi menjadi koruptor.
"Dengan demikian, pilkada yang merupakan sebuah proses demokrasi yang diibaratkan sebagai pabrik yang menghasilkan barang. Jika Pilkada menghasilkan sosok yang cacat, maka pemerintahan yang bersih dan transparan tidak akan pernah lahir. kedepan, dengan penegakan hukum yang tegas, Pilkada tidak lagi dbayangi oleh para koruptor," tegasnya.
‎Sementara itu, pengamat Politik dari LIMA, Ray Rangkuti mengatakan Pilkada memiliki tujuan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, namun sayang hingga saat ini Pilkada masih jauh dari maksud dan tujuan tersebut.
"Potret Pilkada saat ini hanya menjadi instrumen bahwa Demokrasi berjalan di negara ini sekalipun maksud dan tujuan Pilkada sendiri makin tergerus," imbuhnya.
Ray Rangkuti mengingatkan bahwa korupsi merupakan sebuah kejahatan extraordinari yang harus dijadikan musuh secara nasional. Korupsi sama dengan mencuri hak publik dengan memakai kekuasaan.Â
"Lalu apa jadinya kalau koruptor diberi kesempatan lagi untuk maju di Pilkada. Sudah jelas-jelas mereka adalah penghianat negara dan merampok uang rakyat," ujarnya.
Ray R‎angkuti menegaskan, prilaku korupsi selalu berdampak terhadap hak publik yang terampas. Sebab, jika korupsi dilakukan maka sudah jelas pembangunan infrastruktur ‎akan terhambat.
‎"Disinilah kita meminta tanggungjawab partai politik. ‎Partai Politik tidak lagi memberi kesempatan para koruptor untuk maju dalam Pilkada. Sekali lagi saya ingatkan, Pilkada ditujukan untuk menciptakan pemerintahan bersih bukan malah tambah gila dan Kacau," cetusnya.
‎Pembicara lain yakni Uchok Ucok Sky Khadafi dari CBA menilai, Pilkada di Indonesia masih suram, Pilkada tanpa koruptor pun masih sebatas mimpi masyarakat. "Pilkada saat ini masih dikuasai oleh koruptor dan sponsor (pengusaha) yang memiliki kepentingan terhadap daerah," ungkapnya.
Menurut dia, Pilkada makin suram ketika melihat kinerja Komisi Pemilihan Umum yang biasa-biasa saja. Bahkan Bawaslu sepertinya tidak memiliki taring ketika melakukan pembiaran terhadappelanggaran-pelanggara yang terjadi selama Pilkada.
Partai juga, kata Uchok makin memperparah dan memperkokoh berkibarnya koruptor dalam setiap perhelatan Pilkada. "Dari siisi partai juga, mereka tidak melihat rekam jejak calon, sekalipun mereka baru bebas dari penjara karena maling duit rakyat. Di Internal Partai masih ada yang berpikiran bahwa jika ingin menang Pilkada maka harus memiliki banyak uang dan yang banyak uang itu kan Koruptor," katanya.