Jalan penuh tanah merah. Becek ketika hujan dan berdebu ketika kemarau menjadi keseharian Katno Susilo Hudi, Kepala Sekolah di SMPN 8 Sepauk, Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang sejak hampir dua tahun terakhir.
Alumni Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura angkatan 1995 ini sejak Agustus 2015 dilantik sebagai kepala sekolah di SMPN tersebut. Sebelumnya, ia menjadi guru di SMPN 6 Sepauk. Dari rumahnya di Desa Mait Hilir, Pauh, SMPN 6 Sepauk tidaklah jauh. Tak sampai satu kilometer.
Katno diangkat sebagai Pegawasi Negeri Sipil (PNS) pada tahun 2007, dua tahun setelah ditetapkan sebagai guru bantu di sekolah tersebut.
Pengangkatannya sebagai PNS saat itu karena menunggu ia mendapat ijazah Akta IV, sebagai syarat bahwa ayah tiga putra ini layak sebagai pengajar.
Dari Ibu Kota Kecamatan Sepauk, SMPN 8 Sepauk berjarak sekitar 35 kilometer. Sedangkan dari Sintang, ibu kota kabupaten, sekitar 75 kilometer.
"Setiap hari lewat jalan rusak karena ini jalan terdekat dari rumah ke sekolah. Kalau mutar, bisa 40 kilometer," ujar Katno saat dihubungi dari Pontianak.
Jalan pintas ini pun juga tidak dekat, sekitar 17 kilometer dimana lebih dari 50 persennya masih berupa tanah merah.
Tahun ini, ia menerima 78 siswa baru dari tiga desa yang ada di sekitar sekolah tersebut. Secara keseluruhan, ada 205 murid yang menjadi siswa di SMPN 8 Sepauk yang disebar dalam delapan rombongan belajar namun hanya memiliki enam ruang kelas.
"Ini yang harus disiasati, karena sesuai peraturan yang baru, harus menjadi delapan rombongan belajar. Tapi tidak mungkin juga menolak siswa bersekolah, mau tidak mau, ada ruangan lain yang harus dipakai," kata Katno.
Berkali-kali ia mengusulkan agar ada penambahan ruang kelas, namun belum disetujui. Jumlah guru di sekolah tersebut ada 10, dua diantaranya, termasuk Katno, berstatus sebagai PNS.
Ia pun harus memutar otak agar guru honor tetap dibayar dan kegiatan belajar mengajar berlangsung setiap hari.
Disiplin Tinggi
Meski berada dalam keterbatasan, antusiasme guru maupun murid di SMPN 8 Sepauk sangat tinggi. Jadwal masuk sekolah setiap pukul 7.00 WIB pagi, nyaris tak pernah dilewati.
"Tingkat disiplin siswa tinggi karena dimotivasi juga oleh guru-guru mereka yang juga disiplin," kata dia. Katno pun setiap pukul 6.00 WIB sudah berangkat dari rumahnya menuju SMPN 8 Sepauk.
Ia menargetkan lima menit sebelum bel masuk berbunyi sudah tiba di sekolah.
Ada pula guru honor yang lebih jauh lagi tempat tinggalnya dan harus menempuh waktu satu jam lebih 20 menit sebelum tiba di sekolah.
Katno menetapkan aturan yang menarik agar siswa mau disiplin. Yakni pemberian bagi yang melaksanakan kegiatan positif atau sebaliknya pengurangan poin bagi yang melaksanakan hal-hal negatif. Kesepakatan pemberian poin ini diterapkan sejak setahun terakhir.
"Dengan sistem poin ini, kalau pengurangan sudah terlalu banyak, siswa yang bersangkutan akan dipanggil. Kalau masih berlanjut, akan ada peringatan, dan orang tua dipanggil. Siswa dikembalikan ke orang tua adalah opsi terakhir," ujar dia menjelaskan.
Pengurangan poin misalnya siswa tidak hadir, melakukan pelanggaran di kelas, dan sebagainya. Sedangkan penambahan poin misalnya menjadi petugas upacara, pengurus organisasi di sekolah, mengembalikan barang yang ditemukan ke guru, atau membersihkan kelas.
Sebelum aturan ini diterapkan, ia mengajak orang tua murid dan guru untuk membahasnya sekaligus menetapkan poin-poin yang disepakati bersama.
Ia mengakui tata tertib ini bukan murni 100 persen darinya. "Dulu di sekolah awal, pakai sistem poin juga, tapi saya modifikasi lagi sambil mencari informasi di internet," ungkap Katno.
Minat Meningkat
Ia bersyukur semakin lama, minat untuk meneruskan pendidikan dari SD terus meningkat di wilayah itu. Di wilayah itu, ada tiga desa yang masing-masing mempunyai satu sekolah dasar.
Minat pendidikan di desa-desa itu, tak setinggi di kota. Malahan ada satu desa yang hampir 50 persen siswa SD-nya tidak melanjutkan ke jenjang SMP. Alasannya terutama membantu orang tua. Kebetulan, di wilayah itu, masuk dalam daerah penempatan transmigrasi.
Kini, lambat laun ada perubahan. "Sekarang, banyak alumni dari SD tersebut yang sudah mapan dan bekerja, secara langsung maupun tidak, memberi contoh bahwa pendidikan itu memang penting," ujar dia.
Itu juga yang menjadi salah satu pertimbangan Katno untuk tidak menolak siswa lulusan SD yang ingin masuk SMP 8 Sepauk.
Ia menyadari, bukan berarti dengan berpendidikan tinggi menjamin akan mendapat pekerjaan bergaji tinggi dan mapan.
"Karena tidak semua harus menjadi pegawai, ada bidang-bidang pekerjaan lain yang terbuka, dan dibutuhkan melalui pendidikan yang baik pula," kata Katno.
Di Kalbar, mungkin masih banyak "Katno-katno" lain yang berjuang keras demi memajukan pendidikan di tempat tugasnya masing-masing.
Katno, Berjibaku Dengan Lumpur Demi Pendidikan Siswa
Rabu, 26 Juli 2017 15:55 WIB