Pontianak (Antara Kalbar) - Kerajinan tenun kain Songket, salah satu warisan budaya dan seni tradisi Melayu Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, kiranya membutuhkan sentuhan perhatian berbagai kalangan karena semakin sedikit masyarakat berminat menjadi perajin produk tersebut.
Potensi kerajian tersebut masih bisa dijumpai di Jalan Raya Semberang Dusun Sulur Medan, Desa Sumber Harap, Kabupaten Sambas, Kalbar.
Perkembangan perajin dan hasil tenun tradisi warisan leluhur setempat itu, agaknya terabaikan atau bahkan nyaris belum mendapat sentuhan pemerintah.
Padahal, bila ditunjang oleh semua pihak, khususnya pemerintah, perkembangan produksi kain tenun Songket daerah itu, bisa berdampak positif dalam skala luas, baik menyangkut kemajuan ekonomi maupun seni, budaya, dan tradisi masyarakat.
Dengan didukung Bank Indonesia Perwakilan Kalbar dan Forum Jurnalis Ekonomi Khatulistiwa (Fojekha) Provinsi Kalbar, selama tiga hari (3-5 Agustus 2017), berlangsung kegiatan yang diberi nama "Menggali Pontensi Pariwisata Perbatasan (Border Tourism) di Temajo, Kabupaten Sambas".
Dalam kegiatan tersebut, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kalbar, Dwi Suslamanto bersama anggota Fojakha dari Kota Pontianak menuju Kota Sambas.
"Sambas memiliki potensi tenun Songket yang potensial untuk dikembangkan," kata Dwi.
Usai istirahat semalam di salah satu hotel di Kota Sambas, rombongan melanjutkan perjalanan ke daerah wisata pantai di Temajo yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. Butuh waktu perjalanan sekitar empat jam menuju tempat itu dari penginapan di Kota Sambas.
Daerah perbatasan Kabupaten Sambas, khususnya di Temajo, banyak memiliki perajin dan penghasil tenun kain Songket khas Melayu. Daerah itu juga memiliki potensi wisata alam pantai yang layak untuk dipasarkan, tidak hanya untuk lokal dan nasional, namun juga luar negeri.
Berdasarkan berbagai sumber, kerajinan kain Songket Sambas sudah begitu lama digeluti masyarakat Sambas.
Bahkan, kain Songket sudah ada sejak berdirinya Kesultanan Sambas yang dipimpin oleh Sultan Sulaiman. Sultan Sulaiman adalah pendiri Kerajaan Sambas pada 1675 Masehi. Ia memerintah kesultanan itu selama 10 tahun, atau sampai tahun 1685 Masehi.
Beruntung hingga saat ini, masih ada segelintir masyarakat Sambas yang masih mau melestarikan warisan pembuatan kain Songket tersebut.
Aida, ibu tiga anak itu, bersama empat ibu dari Desa Sumber Harapan merupakan satu kelompok perajin kain tenun Songket yang masih tetap membuat dan memasarkan produk tenun tersebut.
Aida mengaku bersama ibu-ibu lainnya terjun ke usaha kerajinan tenun kain Songket karena belajar secara dadakan. Mereka sebelumnya menjadi pekerja pembuatan kain Songket kepada orang lain.
"Karena kami itukan tidak punya modal makanya kami awalnya hanya pekerja saja dan mendapat upah dari bos yang memiliki modal dan alat pemintal tenunan kain Songket," katanya.
Hal itu, mereka lakukan selama bertahun-tahun untuk menambah penghasilan rumah tangga. Suami Aida setiap hari hanya bekerja sebagai penyadap getah.
"Mau tak mau saya juga harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup kami, apalagi suami saya telah menderita penyakit dan pascaoperasi hingga saat ini tidak bisa kerja berat," katanya.
Berkat bantuan dan pembinaan melalui pihak Dompet Umat dan Bank Indonesia Cabang Kalbar, sejak Januari 2016 hingga kini, Aida dan rekan-rekannya dapat berdiri sendiri mengusahakan dan memasarkan hasil kerajian Songket.
"Dulu sebelumnya saya terpaksa `nguli` sambil belajar dengan orang lain, karena tidak ada modal. Tapi semenjak kami dapat bantuan dari Dompet Umat dan BI, kami sejak Januari 2016 bisa berdiri sendiri," katanya.
Hasil tenunan kain Songket saat ini banyak peminatnya, khususnya di tingkat lokal. Oleh karena kendala modal dan promosi tentang keberadaan mereka, penjualan tenun Songket tersebut belum bisa memenuhi harapan.
Pembuatan satu set songket membutuhkan waktu pengerjaan hingga sebulan. Produknya selalu terjual, ia tidak pernah memiliki sisa.
Bantuan modal pengembangan usaha kerajian, antara lain berupa peralatan tenun dan bahan yang cukup untuk pembuatan 10 set, yakni sehelai kain tenun Songket, satu sabuk, dan sehelai selendang, sebagai hal yang mereka syukuri.
"Dari modal bantuan tersebut, kami putarkan kembali hingga berkembang seperti saat ini," ujarnya.
Peranan dari Pemerintah Kabupaten Sambas berupa bantuan kepada mereka juga diharapkan agar pada masa mendatang usaha kerajinan Songket semakin berkembang dan mampu menjangkau pemasaran yang lebih luas.
Usaha kerajinan tenun Songket selain potensial untuk memajukan ekonomi masyarakat juga bagian dari upaya melestarikan tradisi budaya Melayu Sambas.
Proses pembuatan kain tenun itu memang tidak gampang. Untuk pembuatan sehelai kain dengan panjang sekitar dua meter, membutuhkan waktu sekitar satu bulan dengan penuh ketelitian, kesabaran, dan keahlian si penenun.
Kain Songket tidak hanya ada di Kalbar, khususnya di Sambas, namun juga di beberapa daerah, seperti Riau, Minangkabau, dan Palembang.
Meski lahir dari seni budaya dan tradisi Malayu, pembuatan kain Songket mengalami beberapa perbedaan yang biasanya terletak pada jenis dan susunan motif.
Kain tenun Songket Sambas, bila dilihat nampak dominan bermotif tumbuhan-tumbuhan. Salah satu ciri khas pada motif Songket Sambas secara umum adalah Pucuk Rebung atau masyarakat setempat menyebutnya "suji bilang".
Motif itu, berbentuk segitiga, memanjang, dan lancip sesuai dengan tunas bambu muda. Pucuk Rebung digunakan sebagai motif Songket mengandung makna luas dan dalam.
Tenunan kain Songket Sambas diperkirakan sudah ada sebelum berdirinya Kesultanan Islam Sambas, di mana sebelumnya di Sambas telah berdiri kerajaan Hindu berumur sekitar 300 tahun.
Selain motif Pucuk Rebung, kain Songket Sambas juga menggunakan motif yang dikreasi oleh penerus-penerus pelaku kerajinan tersebut.
Motif modern kain Songket Sambas, antara lain motif Bunga Telur Mata Ayam, Bunga Cangkring, Tujuh Tabur Bunga, Bunga Tanjung, Bunga Malek, dan Tahi Lalat.
Motif lama yang masih ada, selain Pucuk Rebung juga ada Mata Punai, Bunga Pecah, Bunga Cengkeh, Bunga Cempaka, Bunak Melur, Siku Keluang, Piji Periak, Angin Putar, Ragam Banji, dan Tepuk Dada. Semuanya memiliki ciri khas menggunakan benang emas.
Dalam kehidupan sosial masyarakat, khususnya Suku Sambas, kain Songket ditempatkan pada kasta tertinggi. Kain itu merupakan pakaian kebesaran yang kerap dipakai orang-orang dalam majelis-majelis musyawarah yang menghadirkan para pembesar negeri, seperti raja atau sultan maupun para pemimpin daerah.
Kain Songket juga kerap digunakan dalam acara adat masyarakat Melayu Sambas, seperti upacara perkawinan. Pada acara yang disakralkan masyarakat Melayu, kain Songket berfungsi sebagai bahan hantaran mempelai laki-laki kepada perempuan.
Dalam perkembangannya, seperti yang dilakukan perajin Aida, kerajinan itu tidak hanya dibuat menjadi kain Songket, namun juga berbagai produk lain yang berkelas, seperti dasi, syal, dan peci. Kain tenun Songket juga dapat dijadikan bahan pembuatan baju dan celana.
Agar warisan para pendahulu itu tidak terkikis zaman, sudah seharusnya semua pihak, khususnya pemerintah, mau membantu dan membina para perajin Songket Sambas.
(T.A057/M029)
Kerajinan Kain Songket Sambas Butuh Sentuhan Perhatian
Selasa, 8 Agustus 2017 12:19 WIB