Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta meminta agar pemerintah memastikan ketersediaan beras hingga akhir tahun di tengah kebijakan pembatasan akibat pandemi COVID-19 yang dapat mempengaruhi sektor pertanian dan perdagangan dunia.
Menurut Felippa, selain dampak pandemi, musim kemarau perlu diwaspadai karena dapat mempengaruhi ketersediaan beras.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, jumlah produksi beras pada semester I tahun 2020 menunjukkan adanya penurunan yakni diperkirakan hanya mencapai 16,8 juta ton atau 9,7 persen lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu.
"Kementerian Pertanian memaksimalkan penghujung musim tanam untuk memanfaatkan musim penghujan yang masih berlangsung di beberapa wilayah di Indonesia. Hal ini menandakan kondisi iklim yang tak menentu masih menjadi tantangan bagi produksi beras dan komoditas pangan lainnya," kata Felippa di Jakarta, Senin.
Felippa menjelaskan bahwa musim kemarau juga biasanya hanya menyumbang sekitar 35 persen dari total produksi beras tahunan, berdasarkan data World Food Programme (WFP) pada 2020.
Ia menilai walaupun pasokan lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan domestik pada semester pertama dengan surplus 6,4 juta ton, ada kekhawatiran mengenai ketersediaan beras menjelang akhir tahun dan awal tahun depan.
Di sisi lain meskipun beras telah menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia, impor beras dibatasi oleh 54 hambatan non-tarif (Non-Tariff Measures/NTM) yang sebagian besar adalah tindakan Sanitary Phytosanitary untuk menjaga kesehatan, keamanan, dan kualitas (61 persen), diikuti oleh Hambatan Teknis Perdagangan (11 persen).
Pembatasan utama perdagangan beras di antara NTM ini dinilai sebagai pembatasan kuantitatif. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan 01/2018, beras hanya dapat diimpor oleh Bulog.
Impor tersebut juga harus menerima otorisasi resmi dari Kementerian Perdagangan yang membutuhkan rapat koordinasi menteri dan diselenggarakan oleh Kemenko Perekonomian yang melibatkan Bulog, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian.
"Keputusan untuk mengimpor beras harus mempertimbangkan stok beras Bulog, perbedaan harga, dan atau produksi beras nasional yang diproyeksikan. Prosesnya sendiri lama. Belum lagi COVID-19 yang menyebabkan kapasitas distribusi dan logistik semakin rendah, dapat membuat pemasukan beras menjadi lebih lama," kata Felippa.