Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan masalah yang menimpa Garuda Indonesia mau tidak mau harus diselesaikan dengan upaya penyelamatan restrukturisasi melalui proses legal internasional dan moratorium dalam waktu dekat.
"Kita sudah menunjuk konsultan hukum maupun konsultan keuangan untuk memulai proses ini dan memang harus segera melakukan moratorium atau standstill dalam waktu dekat, karena tanpa moratorium cash Garuda akan habis dalam waktu yang sangat pendek sekali. Ini yang harus kami tangani segera," ujar Kartika dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR RI di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan Kementerian BUMN sekarang secara intensif sedang berbicara dengan pihak manajemen termasuk pemegang saham minoritas dan Kementerian Keuangan bagaimana proses restrukturisasi Garuda Indonesia ke depan harus mampu mengurangi utang ini.
Jadi yang sedang dirumuskan pola-polanya maupun proses legalnya karena masalah Garuda Indonesia ini melibatkan pemberi sewa atau lessor juga ada pemberi pinjaman dalam bentuk Global Sukuk Bond yang dimiliki oleh para pemegang sukuk dari Timur Tengah.
"Dengan demikian mau tidak mau kalau kita harus melakukan negosiasi ulang secara internasional harus melalui proses legal internasional, karena tidak bisa hanya di Indonesia mengingat justru mayoritas daripada utang Garuda kepada lessor dan pemegang obligasi sukuk internasional," ujar Wamen BUMN tersebut.
Lebih lanjut, ia menjelaskan permasalahan Garuda Indonesia di masa lalu terkait masalah sewa yang melebihi biaya (cost) produksi yang wajar dan memang jenis pesawatnya terlalu banyak. Sebagai contoh Garuda memiliki pesawat jenis Boeing 737, Boeing 777, Airbus A330, sampai dengan Bombardier sehingga efisiensinya menjadi bermasalah.
Kemudian rute-rute yang dilayani oleh Garuda Indonesia sendiri merupakan rute-rute penerbangan yang tidak menguntungkan. Sebenarnya pada tahun 2019 untuk rute domestik meraih keuntungan namun untuk rute penerbangan luar negerinya merugi. Tentunya ini merupakan penyakit lama Garuda Indonesia.
Setelah Covid-19 timbul permasalahan baru, utang yang awalnya berada di kisaran Rp20 triliun menjadi Rp70 triliun, ini membuat posisi Garuda saat ini secara neraca dalam posisi unsolved karena utang dan ekuitasnya sudah tidak memadai untuk mendukung neracanya.
"Untuk itu apabila kita akan melakukan restrukturisasi yang sifatnya fundamental, utang 4,9 miliar dolar AS atau setara Rp70 triliun ini harus menurun ke kisaran 1 sampai dengan 1,5 miliar dolar AS," kata Kartika.
Menurut dia, apabila Garuda Indonesia bisa melakukan restrukturisasi besar-besaran dan efisiensi maka Garuda bisa bertahan, namun usaha ini membutuhkan negosiasi dan proses hukum yang berat karena melibatkan berbagai pihak.