Apoteker memiliki peran penting untuk mengedukasi dan membuat masyarakat cermat dalam memilih dan mengonsumsi obat yang tepat guna merespons fenomena penyakit gangguan ginjal akut atipikal, kata Pakar dari Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof Muchtaridi.
Di beberapa wilayah, menurutnya, masih ditemukan masyarakat yang menggunakan obat untuk penggunaan yang bukan semestinya. Bahkan, ada yang menggunakan obat-obatan khusus untuk manusia, tetapi diberikan kepada hewan.
"Di Indonesia edukasi tentang obat masih kurang. Apoteker harusnya berperan di sini," kata Muchtaridi dalam keterangannya di Bandung, Jawa Barat, Kamis.
Baca juga: Dinas Kesehatan distribusikan obat-obatan untuk korban banjir
Baca juga: Dinas Kesehatan distribusikan obat-obatan untuk korban banjir
Selain itu, lanjutnya, masyarakat Indonesia juga masih banyak yang belum memahami mengenai warna tanda dalam kemasan obat. Padahal, tanda tersebut berfungsi menjelaskan mengenai golongan obat, kegunaan, serta cara penggunaannya.
“Misalnya, masyarakat menganggap warna hijau itu obat bebas. Jadi, bisa dikonsumsi dengan bebas, padahal kan bisa bahaya. Itu edukasinya yang kurang,” kata dia.
Untuk itu, katanya, apoteker punya wewenang dalam memutuskan kelayakan suatu jenis obat untuk dikonsumsi kepada pasien sesuai dengan kondisinya.
Dia mendorong kurikulum pendidikan farmasi maupun apoteker perlu diperkuat. Salah satu yang perlu diperkuat adalah materi stabilitas obat.
Baca juga: Obat anti-COVID-19 akan diproduksi di ChinaDia menilai kasus dietilen glikol dan etilen glikol dalam obat parasetamol di Gambia merupakan bukti bahwa stabilitas suatu obat tidak bisa diabaikan, karena bakal berdampak bagi penggunanya.
“Misalnya, ketika aspirin terkena air atau lembab, itu jangan dimakan, karena akan terpecah menjadi asam atetat dan menjadi racun kalau dimakan. Masyarakat tidak paham, yang paham apoteker,” kata dia.