Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis ortopedi dan traumatologi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati dr Ahmad Nugroho Sp.OT mengatakan, pasien yang mengalami patah tulang akan ditangani secara holistik atau menyeluruh, tidak hanya fokus pada tulangnya saja.
"Pasien yang datang ke dokter ortopedi itu akan ditangani secara holistik, artinya, dokter tidak hanya melihat penyakit pada tulangnya, tetapi dari segi psikologis, yakni siapa dan apa peran dia di kehidupan sehari-hari," kata Ahmad pada diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.
Ahmad mengatakan, apabila pasien adalah seorang kepala keluarga yang harus bekerja, maka dokter ortopedi akan memikirkan bagaimana agar ia bisa segera kembali beraktivitas dengan menyesuaikan jenis pengobatan yang terbaik, dan secara fungsional tidak terjadi kecacatan.
Ahmad melanjutkan, saat ini pengobatan patah tulang ada dua jenis, yakni konservatif atau tanpa operasi, misalnya pemasangan gipsum, dan operatif atau pembedahan.
Baca juga: Seorang ibu rumah tangga patah tulang akibat ditimpa pohon tumbang
"Tindakan operatif akan dilakukan apabila terdapat luka atau patah, misalnya kondisi tulang terbuka, sehingga butuh dibersihkan tulangnya," kata Ahmad.
Adapun diagnosa patah tulang juga dilakukan secara hati-hati. Pertama, secara klinis, yakni dilihat apakah terjadi perubahan bentuk pada tulang, misalnya memendek, kedua dengan rontgen atau x-ray, apabila dokter mencurigai terjadinya patah tulang dan ingin memastikan kondisi tulang yang tidak terlihat secara kasat mata.
Kemudian, apabila patah terlihat pada sendi, atau ketika kondisi tulang dilihat lewat rontgen sudah hancur, bisa melakukan pemeriksaan radiologi tambahan atau ct-scan. Lalu, ada juga pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI), yakni pemeriksaan medis yang dilakukan menggunakan teknologi magnet serta gelombang radio, biasanya dilakukan pada pasien keropos tulang belakang karena berkaitan dengan cedera saraf.
Terkait dengan pengobatan alternatif, Ahmad mengatakan, tidak bisa dipungkiri jika orang Indonesia cenderung lebih memilih ke alternatif, tidak terbatas pada penyakit tulang saja tetapi juga penyakit lain.
"Memang tata laksana alternatif bisa dibilang berbeda daripada tata laksana kedokteran. Dokter juga tidak bisa mengintervensi karena itu merupakan kekayaan budaya Indonesia, dan memiliki dasar ilmu yang berbeda. Namun, kembali lagi, jika ke dokter ortopedi maka akan dilihat secara holistik, jadi akan dipikirkan bagaimana cara agar pasien bisa kembali ke pekerjaannya tanpa ada cacat fungsional," katanya.