Pontianak (ANTARA) - Sebanyak 2.653 anak mengikuti pendidikan di Community Learning Centre (CLC), yakni institusi pendidikan kepada anak-anak Indonesia, dimana para orang tuanya bekerja sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) di perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sarawak, Malaysia.
"Ribuan anak tersebut, tercatat bersekolah di 63 CLC aktif yang tersebar di sejumlah perusahaan sawit di wilayah Sarawak. Sebenarnya jumlah CLC yang tercatat lebih dari 70 CLC," kata Konsulat Jenderal RI (KJRI) Kuching Raden Sigit Witjaksono di Kuching, Sarawak, Senin.
Sigit mengatakan untuk memenuhi tenaga pengajar di CLC, ada guru bina yang disediakan Kementerian Pendidikan Indonesia dan ada guru pamong (guru bantu) yang direkrut oleh perusahaan perkebunan sawit. Untuk guru bina saat ini berjumlah 20 orang dan guru pamong sebanyak 121 orang.
"Jika dilihat dari jumlah murid dan guru yang mengajar di CLC tidak seimbang, karena harus menangani seluruh CLC yang areanya berjauhan dan mengajar 2.653 murid TK dan SD, dari kelas 1 hingga kelas 6 SD," tuturnya.
Menurutnya, hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dan pihaknya akan terus mendorong agar anak-anak Indonesia usia sekolah yang ada di Sarawak tetap dapat mengenyam pendidikan, sama seperti anak-anak lain yang ada di Indonesia.
Menurut Sigit, tantangan lain yang harus segera diatasi agar anak-anak tersebut tetap dapat belajar, yaitu mengusahakan status guru CLC. Untuk saat in, kata Sigit, lebih dari separuh dari 20 guru bina dari Jakarta itu telah habis masa kerjanya.
"Guru-guru yang habis masanya ini harus ada pergantian dan ini memerlukan upaya tersendiri, karena berkaitan dengan izin tinggal dan akses untuk masuk kembali mengajar ke sini. Terkait hal ini kami telah melakukan koordinasi dengan otoritas setempat, seperti Kementerian Pembangunan Kanak-kanak, termasuk kepada State Secretary Sarawak," katanya.
Ia menambahkan kordinasi dan kerja sama dengan otoritas setempat sangat penting agar para guru bina tersebut bisa mendapatkan status yang valid, sah dan legal. Dengan demikian, para guru tersebut dapat bekerja dengan tenang dan baik dalam jangka yang telah di tentukan.
"Kami dari KJRI juga melakukan perlindungan terhadap anak-anak itu. Kami lakukan saat pelayanan jemput bola ke perusahaan-perusahaan kebun sawit dengan memberikan kelengkapan dokumen. Kami juga selalu memberi perhatian terhadap anak-anak tersebut dengan melakukan berbagai upaya untuk kelancaran belajar mengajar mereka," katanya.
Walaupun dengan keterbatasan, lanjut Sigit, pelajar di CLC mampu berprestasi, sehingga pihaknya terus mendorong para orang tua agar anak-anak tersebut dapat meneruskan pendidikan yang lebih tinggi di Indonesia, bahkan hingga ke perguruan tinggi.
Nurul Azizah, salah satu Guru Pamong di CLC Jelalong West mengatakan KJRI Kuching dengan gencar melakukan dukungan untuk kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah CLC.
Tidak hanya membentuk CLC di setiap perusahaan sawit yang banyak menggunakan tenaga PMI, KJRI juga membantu melakukan koordinasi bersama pihak Kemendikbudristek Indonesia dan pihak berwenang di Sarawak, Malaysia serta pihak perusahaan agar fasilitas dan sarana belajar mengajar di CLC tersedia, meski belum sepenuhnya.
"Fasilitas dan sarana belajar mengajar di CLC ini membantu kami untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak yang ada di Jelalong West ini. Kami juga mendapat dukungan penuh dari pihak perusahaan. Namun, upaya untuk menyekolahkan anak-anak di CLC ini biasanya kesulitan, karena anak-anak ini ada yang tidak memiliki akta lahir dan KK, serta kurangnya kesadaran orang tua (PMI) untuk menyekolahkan anak-anaknya," kata Nurul.
Nurul bersyukur dengan adanya bantuan peralatan belajar dan buku-buku, anak-anak PMI yang tadinya tidak bisa membaca, saat ini sedikit demi sedikit sudah bisa membaca.
"Kami berharap ke depannya tempat belajar CLC Jelalong West ini dapat lebih luas lagi, dan peralatan belajar seperti buku-buku dapat lebih lengkap lagi," katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: 2.653 anak pekerja migran Indonesia ikuti pendidikan di CLC Sarawak