Jakarta (ANTARA) - Fenomena peningkatan suhu udara di wilayah perkotaan dibandingkan wilayah pedesaan atau urban heat island (UHI) melanda pusat-pusat pariwisata di Pulau Bali.
“Itu terjadi di pusat-pusat pariwisata, karena emisi karbonnya tinggi dan panasnya juga tinggi,” kata Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana I Nyoman Sunarta dalam lokakarya bertajuk Blue Citizenship yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Fenomena urban heat island yang kentara terjadi di Denpasar. Daerah itu memiliki pertumbuhan pembangunan yang lebih cepat ketimbang daerah lain di Bali.
Selain itu, Desa Canggu yang berada di Kabupaten Badung juga mengalami fenomena serupa akibat kemacetan lalu lintas terjadi setiap hari.
Emisi karbon dan tingginya kepadatan lahan terbangun menyebabkan panas matahari menjadi lama tersimpan dan terperangkap di permukaan bumi, sehingga menyebabkan pusat-pusat pariwisata memiliki suhu yang lebih hangat.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2001 hingga 2019 mengungkapkan bahwa peningkatan suhu di kawasan pariwisata dan perkotaan sebesar 0,1 derajat Celcius, sedangkan di perdesaan hanya sebesar 0,06 derajat Celcius setiap tahun.
“Pengetahuan lokal harus dipertimbangkan di situ,” kata Sunarta.
Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa pengetahuan lokal sangat penting sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang kini terjadi di Bali.
Pengetahuan lokal menawarkan solusi yang holistik dan terintegrasi untuk pelestarian ekosistem laut dan pesisir, karena menggabungkan aspek ekologis, sosial, dan budaya dalam satu kesatuan.
“Bila Bali ingin selamat, kita perlu kembali ke alam, tradisi, dan budaya,” lata Sunarta.