Jakarta (ANTARA) - Pakar Ilmu Keluarga dan Konsumen Institut Pertanian Bogor (IPB) Yulina Eva Riany mengemukakan komunikasi terbuka menjadi kunci utama bagi orang tua di Indonesia untuk mengatasi ataupun mencegah masalah anak usia remaja jangan sampai menjadi adiktif terhadap rokok, gawai, gim, dan narkotika.
Pernyataan tersebut diungkapkan Yulina Eva Riany dalam diskusi daring bertajuk “Kelas Orang Tua Bersahaja (Bersahabat dengan Remaja)” Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang diikuti di Jakarta, Kamis.
Yuliana menjelaskan pada masa remaja (10-19 tahun) banyak perubahan karakter yang membuat mereka jadi seorang berbeda dari sebelumnya.
Bahkan, banyak ahli parenting menyebutkan masa remaja adalah masa badai dan stres, karena emosi diri mereka masih fluktuatif menuju kedewasaan awal.
Hal itu, menurut dia, terjadi karena ketika usia remaja mereka akan mulai mencoba-coba segala hal dari hasil berinteraksi dengan lingkungan tanpa tahu dampak baik atau buruknya, sehingga orang tua harus memperlakukan secara berbeda.
“Orang tua jangan kaget ketika kita kritik dan itu keras mereka akan marah, karena remaja saat ini berbeda sekali keinginannya untuk eksis atau sering disebut fenomena Fomo imbas media sosial juga. Maka tidak ada yang lain, berkomunikasi terbuka layaknya sahabat adalah kunci untuk meluluhkan mereka,” ujarnya.
Yulina yang juga Dosen Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak IPB ini memaparkan tidak ada yang lebih baik untuk menggantikan peran komunikasi orang tua, karena dengan begitu orang tua membangun kepercayaan, dukungan emosional, menghargai privasi, dan otonomi pada remaja.
Kepercayaan itu sangat dibutuhkan buah hati yang sedang beranjak dewasa, namun orang tua harus tetap memberikan batasan secara jelas dengan cara beri tahu dampak merokok, bermain gim berlebihan apa saja, dan bahaya narkoba itu bagaimana bila perlu libatkan profesional untuk hal ini.
Dia mengakui belum ada penelitian yang menjelaskan secara komprehensif terkait hal ini, namun umumnya dalam diskursus keilmuan parenting mispersepsi antara orang tua dan remaja tentang arti kenakalan, kurang pemahaman tentang perkembangan, stereotipe buruk teknologi, dan harapan yang tidak realistis dalam akademik jadi faktor pemicu anak usia remaja terjebak dampak buruk rokok, gawai, gim, dan zat narkotika.
“Maka, akan lebih baik energi orang tua itu difokuskan untuk mendukung dan kontrol terhadap hal positif yang anak remaja kita lakukan, misal berorganisasi di sekolah atau kampus sampai jadi prestasi bagi mereka di luar bidang akademik,” kata dia.
Pentingnya komunikasi orang tua itu juga mulai digencarkan Direktorat Bina Ketahanan Remaja BKKBN melalui program Orang Tua Hebat (Kerabat) Kelas Orang Tua Bersahabat dengan Remaja (Bersahaja) yang menggandeng pakar, akademisi pendidikan anak seluruh Indonesia.
Data inventaris BKKBN mencatat pada Maret – Juni 2024, lebih dari 1.500 orang tua sudah menjadi peserta Kerabat Bersahaja. Mereka mayoritas dari Jawa Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Aceh, dan Jawa Timur.
Direktur Bina Ketahanan Remaja BKKBN, Edi Setiawan mengatakan para orang tua tersebut setiap pekannya diberikan pendampingan edukasi seputar parenting secara daring dan luring untuk menjaga remaja Indonesia terhindar dari bahaya adiktif utamanya rokok dan napza.
Sebagai informasi, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan prevalensi perokok pada usia 10 hingga 18 tahun naik menjadi 9,1 persen dari 7,2 persen pada 2018. Sementara Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat 24-28 persen dari 3,6 juta penyalahgunaan narkoba di Indonesia adalah usia remaja tahun 2022.
“Karena itu, semua pihak harus berkolaborasi untuk mewujudkan tugas mulia terkait pembangunan kualitas sumber daya manusia, khususnya remaja yang menjadi tulang punggung dalam menyongsong pembangunan berkelanjutan atau SDGs pada tahun 2030,” ujarnya.