Jakarta (ANTARA) - Koridor Philadelphi menjadi isu sentral dalam negosiasi gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas baru-baru ini.
Wilayah strategis di sepanjang 14 km bagian selatan Jalur Gaza ini menjadi titik krusial yang menghalangi tercapainya kesepakatan antara kedua pihak.
Hamas menuntut penarikan penuh tentara Israel dari area tersebut, sementara Israel bersikeras mempertahankan kendali atas koridor itu untuk mencegah pembangunan terowongan oleh Hamas.
Menteri Energi Israel, Eli Cohen, menegaskan "Israel tidak akan meninggalkan Gaza sampai semua sandera dibebaskan."
Pernyataan ini diperkuat oleh Kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang menyatakan Israel terus berupaya memaksimalkan pembebasan sandera dan menegaskan tentara Israel akan tetap ditempatkan di koridor yang membentang di perbatasan antara Gaza dan Mesir itu.
Israel bahkan berencana membangun tembok di sepanjang Koridor Philadelphi untuk mencegah Hamas membangun terowongan.
Menurut laporan The Wall Street Journal, Israel juga menginginkan akses ke data dari kamera dan sensor yang memantau area tersebut.
Di sisi lain, Hamas menolak berpartisipasi dalam pembahasan kesepakatan Gaza yang diadakan di Doha pada 15-16 Agustus lalu karena kurangnya kejelasan mengenai syarat-syarat gencatan senjata.
Hamas menuduh Netanyahu mengajukan persyaratan baru dalam proposal gencatan senjata dan pertukaran tahanan, yang dirancang untuk menggagalkan tercapainya kesepakatan.
Menurut Hamas, Israel menuntut Hamas menerima keberadaan Israel di Koridor Philadelphi, mengendalikan pos-pos pemeriksaan di Koridor Netzarim, dan memantau pergerakan warga Gaza.
Selain itu, Israel juga menolak membebaskan 100 dari 300 tahanan yang diinginkan Hamas dan mengharuskan 200 warga Palestina meninggalkan Gaza dan Ramallah.
Hamas menegaskan bahwa tujuan Netanyahu dalam negosiasi Doha adalah untuk mengulur waktu guna melanjutkan operasi militer.
Hamas menegaskan komitmennya terhadap kesepakatan yang dicapai pada 2 Juli, berdasarkan proposal yang didukung oleh Presiden AS Joe Biden dan resolusi Dewan Keamanan PBB. Mereka meminta para mediator untuk memaksa Israel melaksanakan apa yang telah disepakati.
Pembicaraan gencatan senjata Gaza Hamas-Israel di Doha, melibatkan Qatar, Mesir, Amerika Serikat, dan Israel, diharapkan bisa menghasilkan solusi dua negara.
Namun, upaya ini menghadapi banyak tantangan, terutama karena Netanyahu bersikukuh untuk tetap mempertahankan kontrol atas wilayah-wilayah Palestina yang dianggapnya sebagai basis teroris.
Kendati demikian, pernyataan bersama dari Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir, yang dirilis oleh Kantor Presiden Mesir Abdel Fattah Sisi, menyebutkan bahwa pembicaraan di Doha berlangsung serius dan konstruktif.
Para mediator akan melanjutkan perundingan di Kairo dengan harapan mencapai kesepakatan berdasarkan proposal yang disepakati di Doha.
Area sensitif
Koridor Philadelphi, atau lebih dikenal sebagai Philadelphi Route atau Philadelphi Corridor, adalah jalur sempit yang terletak di perbatasan antara Jalur Gaza dan Mesir, khususnya di kota Rafah.
Nama "Koridor Philadelphi" diambil dari kota kuno Philadelpheia, yang kini dikenal sebagai Amman, Ibu Kota Yordania.
Secara lebih spesifik, koridor ini membentang di bagian selatan Jalur Gaza, berbatasan langsung dengan Mesir di sebelah selatan.
Koridor Philadelphi merupakan wilayah Palestina, tepatnya di Jalur Gaza, tetapi berbatasan langsung dengan Mesir di sebelah selatan.
Meskipun secara geografis berada di wilayah Jalur Gaza, yang dikelola oleh otoritas Palestina dan kelompok Hamas, koridor ini memiliki sejarah pengawasan dan kontrol yang rumit.
Setelah penarikan mundur Israel dari Gaza pada 2005, tanggung jawab atas koridor ini diserahkan kepada Otoritas Palestina, meskipun Israel tetap memantau keamanan di wilayah itu untuk mencegah penyelundupan senjata melalui terowongan bawah tanah yang sering digali di bawah koridor.
Dalam praktiknya, Koridor Philadelphi berfungsi sebagai zona penyangga antara Gaza dan Mesir serta menjadi area sangat sensitif dari sudut pandang keamanan bagi Israel, Palestina, dan Mesir.
Koridor Philadelphi pertama kali ditetapkan sebagai bagian dari Perjanjian Perdamaian Camp David 1979.
Wilayah ini memainkan peran penting dalam keamanan Israel dan kontrol pergerakan barang, termasuk senjata, ke Jalur Gaza.
Setelah Israel menarik pasukannya, ketegangan terus berlanjut, terutama setelah Hamas mengambil alih kontrol Jalur Gaza pada 2007.
Jalur ini awalnya berfungsi sebagai batas militer, namun kemudian menjadi jalur strategis dalam konflik Israel-Palestina.
Bagi Israel, pengendalian koridor ini adalah kunci untuk mencegah Hamas menyelundupkan senjata dan amunisi.
Bagi penduduk Gaza, terowongan yang dibangun di bawah Koridor Philadelphi menjadi jalur vital untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, bahan bakar, dan obat-obatan, terutama di bawah blokade dan serangan Israel di wilayah Gaza.
Israel, yang mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB soal gencatan senjata segera, dikecam masyarakat internasional karena melangsungkan serangan brutal di Gaza.
Lebih dari 10 bulan digempur habis-habisan oleh Israel, sebagian besar wilayah Gaza hancur di tengah lumpuhnya pasokan makanan, air bersih, dan obat-obatan.
“Genosida" oleh Israel itu telah menewaskan hampir 40.100 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, serta melukai lebih dari 92.500 orang.
Proses negosiasi dan kendala
Negosiasi gencatan senjata antara Israel dan Hamas sering terhambat oleh perbedaan pandangan mengenai status Koridor Philadelphi.
Koridor Philadelphi sering kali menjadi titik nyala dalam konflik antara Israel dan Palestina. Pada masa-masa eskalasi militer, Israel kerap melancarkan operasi militer di daerah Rafah untuk menghancurkan terowongan-terowongan penyelundupan.
Operasi-operasi ini biasanya melibatkan serangan udara, pengeboman, dan operasi darat yang sering mengakibatkan korban jiwa di kedua belah pihak, serta kerusakan infrastruktur yang luas.
Pada tahun 2009, dalam Operasi Cast Lead, Israel melancarkan serangan besar-besaran terhadap Jalur Gaza yang juga menargetkan terowongan-terowongan di Koridor Philadelphi.
Serangan ini bertujuan untuk mengurangi kemampuan Hamas dalam memperoleh senjata dan amunisi dari luar negeri, terutama melalui Mesir.
Dalam beberapa tahun terakhir, situasi di Koridor Philadelphi tetap tegang, meskipun ada upaya internasional untuk meredakan konflik.
Dalam perundingan terakhir yang melibatkan Qatar, Mesir, Amerika Serikat, dan Israel, Hamas menolak berpartisipasi karena kurangnya kejelasan mengenai syarat-syarat gencatan senjata.
Sejumlah mediator telah menyampaikan proposal untuk mempersempit perbedaan antara kedua pihak, namun Israel tetap bersikeras mempertahankan kendalinya di koridor ini.
Pada perkembangan terbaru, pembicaraan gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Doha kembali memperlihatkan sulitnya mencapai kesepakatan.
Hamas menuduh Israel menggunakan negosiasi sebagai cara untuk memperpanjang operasi militer di Gaza, dan Netanyahu dianggap menetapkan persyaratan baru yang hanya akan menghambat proses perdamaian.
Koridor Philadelphi, yang awalnya hanya merupakan jalur militer, telah berkembang menjadi simbol kompleksitas konflik Israel-Palestina.
Selama masalah yang lebih luas antara Israel dan Palestina belum terselesaikan, koridor ini kemungkinan akan terus menjadi pusat ketegangan dan konflik.
Menurut data dari organisasi hak asasi manusia yang berbasis di Gaza, serangan udara Israel pada awal Agustus 2024 telah merusak infrastruktur penting di sekitar Koridor Philadelphi, dan makin meningkatkan kesulitan bagi warga sipil Gaza dalam mengakses kebutuhan pokok mereka.
Dengan situasi yang terus berubah dan meningkatnya tekanan internasional, keberlanjutan gencatan senjata tetap dipertanyakan, terutama dengan bongkar pasangnya persyaratan baru gencatan senjata oleh Israel.
Dalam jangka panjang, Koridor Philadelphi akan tetap menjadi simbol dari tantangan besar yang dihadapi dalam mencapai perdamaian yang berkelanjutan di wilayah strategis itu.
Editor: Achmad Zaenal M