Tanjung Selor (ANTARA) -
Kepolisian Daerah Kalimantan Utara (Polda Kaltara) membongkar perdagangan ilegal terhadap satwa yang dilindungi sebanyak 187 ekor burung cucak hijau (chloropsis sonnerati).
“Satwa burung ini banyak hidup di Malinau, Tana Tidung, dan Bulungan dan statusnya dilindungi untuk menjaga kelestariannya,” kata Kapolda Kaltara Irjen Pol. Hary Sudwijanto di Tanjung Selor, Kamis malam.
Pengungkapan kasus ini dilakukan pada 28 Agustus 2024 oleh Tim Ditkrimsus Polda Kaltara bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur setelah menggeledah satu unit ruko milik tersangka berinisial BB di Tarakan Barat, Kota Tarakan, Provinsi Kaltara, yang ditemukan satwa dilindungi yaitu cucak hijau.
Tersangka merupakan warga Kota Surabaya, Jawa Timur, yang memiliki rumah domisili di Kota Tarakan.
Kapolda menjelaskan, pelaku melakukan perdagangan ilegal terhadap satwa dilindungi melalui jual beli secara konvensional di ruko milik pelaku serta menawarkan dagangannya melalui media sosial.
Dari penelusuran kepolisian, pelaku banyak memasarkan burung cucak hijau di Surabaya, Jawa Timur. Untuk cucak hijau berjenis leher kuning dijual pada kisaran harga Rp100 ribu hingga Rp200 ribu per ekor, sedangkan, cucak hijau berleher hitam dijual Rp400 ribu per ekor.
Keuntungan pelaku dari hasil penjualannya mencapai Rp150 juta dari penjualan sebanyak 500 ekor burung cucak hijau per bulan.
Kapolda Kaltara menegaskan, aturan perlakuan secara tidak wajar terhadap satwa yang dilindungi terdapat dalam Pasal 40 ayat (2) juncto Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Substansi pasal adalah “Setiap orang dilarang untuk: a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati.
Selanjutnya pada huruf c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
Selain itu, huruf e menyebutkan, mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.
Sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) adalah pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.
Kapolda menegaskan, perdagangan satwa yang dilindungi cenderung mengurangi populasi spesies dan bisa menyebabkan kepunahan.
“Perdagangan satwa yang dilindungi itu akan mengakibatkan terjadinya kerusakan ekologi, ekosistem, dan hilangnya keragaman hayati dan spesies tertentu,” demikian Kapolda Kaltara.